Mas Imam Nawawi

- Kisah

Kamu Sejahtera atau Belum?

Belakangan saya suka membawa buku tulis dan pulpen. Tujuannya satu, kalau pas naik mobil ada kemacetan, saya gunakan momen berhenti sejenak itu untuk mencatat apa yang saya baca. Sampai akhirnya bertemu teori tentang kesejahteraan. Maka lahirlah tulisan ini, “Kamu sejahtera atau belum?” Rabu (20/8/25) dalam perjalanan Depok – Cilandak, Jakarta Selatan, saya membaca opini dari […]

Kamu Sejahtera atau Belum?

Belakangan saya suka membawa buku tulis dan pulpen. Tujuannya satu, kalau pas naik mobil ada kemacetan, saya gunakan momen berhenti sejenak itu untuk mencatat apa yang saya baca. Sampai akhirnya bertemu teori tentang kesejahteraan. Maka lahirlah tulisan ini, “Kamu sejahtera atau belum?”

Rabu (20/8/25) dalam perjalanan Depok – Cilandak, Jakarta Selatan, saya membaca opini dari Muhammad Chatib Basri di Kompas.id. Judulnya “Sjahrir, Deregulasi dan Keadilan ekonomi.”

Sisi yang menarik adalah kutipan dari Amartya Sen, ekonom asal India, peraih Nobel dari Harvard tentang apa itu kesejahteraan.

Makna Sejahtera

Menurut Sen, ukuran kesejahteraan bukan sekadar banyaknya barang atau harta yang kita miliki.

Yang lebih penting adalah: apakah kita benar-benar bisa menjadi sesuatu dan melakukan sesuatu.

Misalnya, punya pekerjaan, bisa membaca, tubuh yang sehat, atau mendapat penghormatan dari orang lain—itulah hal-hal yang bikin hidup terasa bernilai.

Intinya kesejahteraan terletak pada kebebasan kita untuk mewujudkan hal-hal yang kita inginkan.

Tanpa kebebasan, ruang gerak manusia jadi sempit. Bayangkan perbedaannya: seseorang yang berpuasa karena pilihan, dengan seseorang yang kelaparan karena terpaksa.

Sama-sama lapar, tapi yang berpuasa sadar bahwa itu konsekuensi dari pilihan bebas untuk tujuan hidup yang lebih bernilai, bermakna dan bermanfaat.

Mindset Wakil Rakyat

Saya kemudian tertarik mengimajinasikan pemahaman Sen itu jadi cara berpikir wakil rakyat, pasti seru.

Dalam kerangka itu, seharusnya kebanggaan anggota DPR tidak berhenti pada angka tunjangan yang bisa menembus lebih dari seratus juta rupiah per bulan. Angka besar itu kontras dengan kenyataan bahwa jutaan rakyat masih sulit makan layak, mencari pekerjaan, atau mengakses layanan kesehatan.

Bagi Sen, situasi tersebut jelas menandakan bahwa capabilities masyarakat belum terpenuhi—mereka belum punya cukup ruang untuk hidup sehat, bekerja, dan belajar.

Pada titik ini, logika kesejahteraan bukan lagi soal isi rekening wakil rakyat, melainkan seberapa luas kebebasan yang dinikmati rakyat dari hasil keputusan-keputusan politik yang mereka ambil.

Jika mindset Sen dipraktikkan, maka pertanyaan utama yang muncul di benak para legislator bukanlah “berapa besar gaji saya bulan ini?”

Melainkan “Apakah keputusan saya membuka lapangan kerja baru?”

Kemudian “Apakah kebijakan saya memberi ruang bagi rakyat untuk mengakses pendidikan?”

Atau “Apakah rakyat bisa lebih bebas menikmati kesehatan dan martabat hidupnya?”

Dengan cara pandang seperti ini, DPR akan lebih berhati-hati, sebab ukuran kinerja mereka bukan terletak pada kenyamanan pribadi, melainkan pada kesejahteraan nyata yang dirasakan masyarakat.

Rakyat Akan Sejahtera

Kesimpulannya, gagasan Amartya Sen memberi pelajaran penting: ukuran kesejahteraan sejati ada pada kemampuan manusia untuk hidup sehat, berkarya, dan bermartabat dengan kebebasan penuh.

Bagi para pengambil kebijakan, khususnya DPR, hal ini menjadi pengingat agar tidak terjebak pada angka-angka besar tunjangan, melainkan menilai keberhasilan dari seberapa luas rakyat memperoleh kebebasan untuk hidup lebih layak.

Dan bagi kita, pelajarannya adalah menuntut dan mendorong agar kesejahteraan rakyat benar-benar menjadi prioritas utama, bukan sekadar slogan.

Jadi ternyata benar, membaca yang baik adalah dengan mencatatnya. Kalau sudah jadi catatan, baca kembali dan jadikanlah sebuah tulisan. Semoga ini bermanfaat bagi kita semua.*

Mas Imam Nawawi