Pernahkah kita bayangkan, hidup tanpa Alquran? Ini karena dalam banyak hal, kita menemukan Alquran menjadi cahaya dalam kehidupan. Seperti diksi syukur, itu sangat manusia butuhkan. Kalau tidak, mungkin kita telah masuk area kufur. Hidup tak tahu terimakasih. Maunya serakah. Dan, senang merugikan orang lain. Sungguh itu merugikan.
Kalau dalam Alquran, siapa kufur, maka ia akan bertemu dengan siksaan Allah yang sangat pedih. Sebaliknya, siapa bersyukur akan mendapat tambahan nikmat dari Allah SWT.
Kita Memilih Syukur
Syukur itu bukan sekadar ucapan, tapi cara kita menempatkan hidup dalam posisi yang wajar.
Kita sadar, tidak semua keinginan harus dikabulkan. Tidak semua kekurangan harus dikeluhkan.
Kadang, justru dari keterbatasan, kita belajar bersyukur lebih dalam. Karena syukur bukan soal punya banyak, tapi soal mampu melihat banyaknya kebaikan dalam setiap fakta kehidupan.
Coba lihat orang yang hidupnya terus mengeluh. Ia cepat lelah, mudah tersinggung, dan selalu merasa kurang. Padahal mungkin, yang ia keluhkan justru sedang orang lain doakan.
Hati yang tak pandai bersyukur akan jadi sumur tak berdasar. Apa pun dituang, tetap terasa kosong. Dan akhirnya, ia sendiri yang kelelahan memikul perasaan itu.
Syukur itu menguatkan. Ia memberi jeda di tengah sibuknya ambisi. Ia mengingatkan bahwa kita tak hidup sendiri, dan banyak hal sudah kita terima tanpa harus minta.
Maka kalau kufur merugikan, kenapa tidak syukur saja? Lebih ringan bagi hati, lebih hangat dalam menjalani.
Syukuri Peristiwa yang Mewarnai Hidup Kita
Satu cara bersyukur bisa dengan metode span. Yakni kita bersyukur atas peristiwa-peristiwa yang mewarnai kehidupan kita.
Sebagai contoh, sore mulai berjalan jauh. Tidak lama gelap akan menyapa bumi. Tiba-tiba, saudaraku mendatangiku. Ia membawakan secangkir kopi. Minuman yang tak pernah kuminta, tapi Allah kirimkan melalui dia.
Menyadari itu, saya merasa betapa Allah sangat memerhatikan hamba-hamba-Nya.
Saya bisa saja melihat itu sebagai hal biasa. Tapi rasa syukur membuatku sangat terdorong untuk memaknainya. Dengan begitu terasa bahwa Allah sebaik-baik Pemberi Rezeki.
Atas kebaikan itu, saya pun membacakan Alquran untuk saudaraku itu. Tentu saya tidak mengatakan bahwa ini untuknya. Cukup Allah yang menjadi saksi, bahwa pasca momen itu, saya benar-benar ingin bersyukur.
Syukur ternyata tidak saja berdimensi spiritual, tetapi juga empirik, tepatnya kepada badan kita.
Syukur Itu Menguatkan Tubuh dan Pikiran
Orang yang pandai bersyukur cenderung tampak lebih sehat. Ia punya semangat untuk menjaga diri, rutin berolahraga, dan sadar pentingnya memeriksa kesehatan.
Bukan karena hidupnya selalu mudah, tapi karena ia tahu, tubuh yang kuat adalah bagian dari rasa terima kasih kepada Tuhan.
Syukur juga menguatkan sisi dalam. Ia menenangkan pikiran dan menjauhkan dari rasa iri, marah, bahkan frustasi.
Orang yang terbiasa bersyukur akan lebih cepat pulih dari luka batin. Ia tidak tenggelam dalam penyesalan. Justru sebaliknya, ia bisa belajar dari perasaan itu tanpa membiarkannya menguasai diri.
Itu sebabnya, syukur membuat hati lebih tenang. Ketika bersyukur, kita sedang menyambut hidup dengan lapang. Bukan berarti semua masalah hilang, tapi cara pandang kita jadi lebih jernih. Hidup terasa cukup.
Dan, di situlah letak kebahagiaan. Bukan euforia yang dangkal. Tapi kebahagiaan yang menghujam, hingga lubuk hati paling dalam.*