Home Kisah Jiwa yang Merdeka Sudahkah Bangsa Ini Miliki?

Jiwa yang Merdeka Sudahkah Bangsa Ini Miliki?

by Imam Nawawi

Siang menjelang sore (11/8/22) saya mendapat kesempatan berbincang dengan filosof Indonesia, yaitu Ustadz Suharsono. Tema bincang saat itu ialah jiwa yang merdeka sudahkah bangsa ini miliki.

Tema itu sebagai upaya ikut memeriahkan HUT NKRI yang ke 77 pada 17 Agustus 2022 nanti. Perbincangan berlangsung selama 35 menit dan akan tayang di channel BMH TV, sebelum hari kemerdekaan nanti.

Apakah Ustadz Suharsono seorang filsuf, bagi saya iya. Karena selain memang menguasai filsafat ia selalu punya ide dan gagasan segar dalam memandang kehidupan, termasuk ffenomena yang berkembang.

Baca Juga: Membaca Serius untuk Indonesia Merdeka

Selain itu karya-karya intelektualnya juga sangat berbobot. Sebagian orang yang tak gemar membaca selalu berkomentar, “Buku-buku beliau sangat berat.”

Pembahasan

Dalam sesi yang berlangsung santai itu saya bertanya, apa yang menjadikan seorang Soekarno, Agus Salim, Bung Hatta, dan Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto mampu melahirkan dan merawat ide kemerdekaan. Bahkan lebih jauh mampu membangun kesadaran dan perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan.

Penulis buku “Membangun Peradaban Islam Menata Masa depan Indonesia dengan Alquran” itu menjawab sangat sederhana namun mendasar.

“Ya, kita lihat pada lagu kemerdekaan itu sendiri. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya.”

Ayah 12 anak itu pun melanjutkan. Ketika sebuah bangsa, masyarakatnya memiliki kemerdekaan jiwa, maka ia akan memiliki mental superior.

Ia tidak mau tunduk kepada bangsa lain, apalagi sampai dijajah. Ia akan berusaha melakukan upaya agar meraih kemerdekaan.

Itulah mengapa, kualitas berpikir dan mental perjuangan orang-orang dahulu itu sangat tinggi dan luar biasa. Karena jiwanya yang merdeka.

Kalau jiwanya tidak merdeka, Soekarno, Agus Salim, Hatta, boleh jadi akan memilih berkarir pada pemerintahan Belanda.

Tetapi itu tidak ia pilih, karena memang kebutuhan yang sedang ia perjuangkan bukan urusan perut, tetapi ekspresi diri dan bangsanya, yaitu harus merdeka.

Intelektual dan Sekolah

Satu bahasan yang tak kalah menarik adalah ulasan tentang intelektual dan sekolah.

Ustadz Suharsono mengatakan bahwa tidak usah heran kalau belakangan banyak orang bergelar akademik tinggi tetapi tidak begitu memiliki kekuatan intelektual yang memadai.

Karena memang gelar akademiki tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan intelektual. Sekolah yang ada itu hanya bicara jenjang pendidikan, jenjang sekolah, bukan kualitas intelektual yang sesungguhnya.

Dalam sebuah kesempatan diskusi yang belum lama saya ikuti, seorang pembicara yang menulis 57 judul buku tentang khtubah dan masjid pun bercerita kondisi miris itu.

Bagaimana mungkin seorang doktor, punya jabatan, ikut perlombaan dengan mengirim naskah khutbah Jumat karya sang penulis.

Pada saat yang sama, penulis buku itu adalah dewan juri. Sontak saja sang penulis berkata ke rekan juri lainnya, “Ini tulisan saya,” katanya yang membuat seluruh ruangan tertawa.

Saya pun membaca demikian. Sekolah dengan sistem kurikulum massal hanya menekankan murid menyimpan fakta-fakta, mengumpulkan pengetahuan kemudian menyajikan ulang dalam ujian.

Akhirnya orang yang lulus sekolah pikiran besarnya hanya satu, bagaimana dapat pekerjaan dan berkarir untuk kebutuhan paling dasar dalam kehidupan, sandang, pangan dan papan.

Tidak heran kalau dalam hari kemerdekaan sebagian rakyat menerima saja hari besar dan bersejarah bangsa ini hanya dirayakan dengan panjat pinang, makan kerupuk dan lomba kelereng.

Kata Ustadz Suharsono, “Tidak ada cara merayakan yang lebih substansial.”

Langkah Terbaik untuk Jiwa Merdeka

Ustaz Suharsono pun saya tanya perihal apa langkah terbaik menghadapi situasi dan kondisi seperti ini.

Jawaban beliau adalah coba renungkan untuk apa diri kita sebagai manusia hadir dalam kehidupan dunia ini.

Kalau sudah paham bahwa dalam rangka menjadi khalifah Allah di muka bumi, maka ruhani kita akan merdeka, pikiran kita akan mulia dan jalan hidup kita akan menyala.

Tidak gelap gulita, sehingga menduga bahwa hanya harta, hanya pangkat dan hanya jabatan yang membuat manusia bahagia. Faktanya banyak orang celaka dan binasa karena pikiran terbesar dalam hidupnya hanya soal hawa nafsu.

Padahal Nabi dan Rasul Allah hadirkan adalah untuk membuat umat manusia merdeja jiwanya dari keterjajahan apapun yang bersumber dari hawa nafsu.

Baca Lagi: Bijak Membaca Berita

Seperti Oemar Said Tjokroaminoto, ia rela memperjuangkan bangsa ini dengan fokus membangun manusia berkualitas. Ia adalah sosok manusia dengan jiwa yang merdeka.

Bahkan untuk itu ia tinggalkan segala kemapanan keluarga bangsawan, ia meretas kesetaraan. Ia melakukan “bunuh diri” kelas. Karena itu ia mendapat julukan Bapak Para Tokoh Pergerakan Indonesia. Orangnya telah tiada, jasanya terus mengalir dalam kehidupan bangsa dan negara.*

Mas Imam Nawawi

 

 

Related Posts

Leave a Comment