Home Kajian Utama Jangan Tidur Berbaring

Jangan Tidur Berbaring

by Imam Nawawi

Jangan tidur berbaring adalah ungkapan yang begitu sering KH. Abdurrahman Muhammad sampaikan dalam setiap kesempatan. Terlebih acara-acara nasional.

Semalam (10/3/23), ungkapan itu beliau tegaskan kembali.

“Bagaimana mau tidur berbaring, para ulama terdahulu, sedang mereka menulis begitu banyak kitab dengan pikiran-pikiran besar. Sempat dia berbaring tidak hebat karya mereka,” tegas beliau di hadapan peserta pelatihan kepemimpinan gawean Hidayatullah Institute.

Sekarang orang memang mudah untuk tidur, apalagi kalau yang kaitan dengan kebaikan ilmu.

Khutbah Jumat misalnya, siapa yang bisa lolos, 100% bisa menyimak khotib khutbah dari awal sampai akhir, sangat sedikit.

Saya sering bertanya kepada teman-teman kala jalan pulang dari masjid, usai Jumatan.

“Apa tadi kata khotib?”

Rata-rata menjawab, “Lupa, Mas, tertidur saya tadi.”

Walaupun soal jama’ah Jumatan tertidur itu bukan karena faktor tunggal sang jama’ah sendiri.

Ada peran dari khotib Jumat juga, yang kadang khutbah yang disampaikan betul-betul hanya dengan materi ala kadarnya.

Baca Juga: Berpikir itu Ibadah

Berintonasi tinggi, tapi tanpa bobot yang berarti. Panjang tapi bertele-tele. Atau pendek, tapi miskin ilmu, informasi dan gubahan pikiran, juga sangat miskin data apalagi analisis data.

Mereka mungkin tidak sempat riset, mengkaji, melakukan komparasi dan membuat kesimpulan-kesimpulan penting bagi umat.

Padahal perintah Allah seringkali adalah “Agar kamu berpikir.”

Introspeksi

Tetapi jangan tidur berbaring maksudnya jangan jadi tukang tidur.

Mungkin mata melihat, setiap menit membaca, tapi obrolan Whatsapp yang seringkali tak banyak memberi arti.

Artinya apa, otak, hati dan jiwanya, tetap tidur. Kalau ada info agak aneh, absurd, dan tidak jelas, cenderung terdepan tampil dengan komentar ala pengamat. Padahal ia tidak tahu duduk perkaranya secara tepat.

Apalagi grup Whatsapp yang memang dibuat tanpa tujuan selain daripada untuk “bertemu” virtual belaka.

Pendek kata dalam 24 jam yang telah berlalu, apa karya yang telah kita buat. Benarkah hati dan akal ini hidup?

Jangan-jangan tak ada gagasan sama sekali. Tak ada hasil muhasbaah. Tak punya resolusi memberikan jawaban atas problema yang terjadi.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat, jangan jadi manusia yang eksistensinya sama saja dengan ketidakhadirannya. Ada tidak menggenapkan. Tidak ada juga tidak mengganjilkan.

Ibrah

Saya selalu teringat uraian Gus Hamid Fahmy Zarkasyi. Profesor filsafat itu sering menyuguhkan data tentang Imam Ath-Thabari.

Ath-Thabari itu menulis setiap hari 40 halaman selama 40 tahun lamanya.

Kalau mau kita hitung pakai kertas A4 sekarang, 40 halaman itu, setahun menghasilkan 1.424 halaman.

Baca Lagi: Jadilah Pemenang Sejati

Yang perlu kita jadikan ibrah adalah, waktu Ath-Thabari melakukan itu belum ada internet, laptop, apalagi listrik dan Chat GPT.

Mengapa bisa menulis secara konsisten 40 halaman setiap hari?

Dari sini ungkapan KH. Abdurrahman Muhammad bagi saya penting jadi renungan, jangan-jangan kita banyak membaringkan akal ini karena kemalasan.

Jadi, tidur yang beliau maksud bisa dua sisi. Satu sisi tidur jasad. Sisi lain, tidurnya akal dan hati, sehingga hidup tanpa memberi arti sama sekali. Itu yang harus kita hindari.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment