Ketika sharing tentang jurnalistik bersama para mahasiswa STIS Hidayatullah Balikpapan, seorang peserta bertanya, bagaimana kita mengatasi keterbatasan yang ada. Terutama untuk senantiasa bisa produktif menulis. Saya menjawab bahwa jangan pernah salah, batasan itu penting.
Mengapa batasan itu penting, setidaknya karena dua hal utama. Pertama, batasan membuat kita mudah fokus. Kedua, batasan menjadikan kita sadar akan status atau posisi kita sebagai penulis.
Misalnya, kalau kita adalah seorang mahasiswa jurusan Ahwal Syahsiyah, maka menulis dengan batasan (tema) keluarga dalam Islam sangatlah relevan. Media massa pun akan menerima tulisan yang bagus dari orang yang secara akademik memang sesuai.
Baca Juga: Memetik Makna Kuatkan Tekad
Dalam dimensi sejarah kita akan menemukan fakta lebih menakjubkan lagi. Bagaimana dahulu tidak ada listrik, lampu, dan buku serta pena seperti sekarang, tetapi ulama mampu menulis berjilid-jilid buku.
Lantas bagaimana dengan sekarang, apakah masih ada keterbatasan itu kalau kita bandingkan dengan masa ulama dahulu menulis?
Keterbatasan Bukan Alasan
Keterbatasan sejatinya adalah realitas yang harus kita terima dengan lapang dada. Sebab, kita bisa melihat bagaimana orang yang punya keterbatasan namun mampu berprestasi. Lihat orang yang tidak bisa melihat (buta) tapi hafal Alquran.
Perhatikan mereka yang dari kampung, kemudian tampil sebagai sosok menginspirasi. Sebut saja Andrea Hirata yang melejit dengan novel fenomenalnya, Laskar Pelangi. Ia mulai menulis bukan karena ketersediaan fasilitas, tetapi banyaknya hal yang membatasi.
Bung Karno, Bung Hatta hidup di masa Indonesia dalam masa penjajahan. Malam-malamnya bisa kita bayangkan betapa gulitanya. Tetapi mereka dan banyak tokoh lainnya tidak mengutuk malam. Mereka sadar bagaimana memanfaatkan malam untuk tetap bsia membaca.
Bismillah
Dalam hal berkarya, pada bidang apapun, hal yang seharusnya kita perhatikan bukanlah keterbatasan. Akan tetapi tekad dan niat. Sejauh ada niat sekaligus tekad, insha Allah akan ada jalan. Keterbatasan tidak akan hilang, tetapi kita bisa menikmati celah atau peluang untuk sampai pada idealita dalam pikiran.
Jadilah seperti Nabi Muhammad SAW yang keluar dari kejahiliyahan masyarakat dengan bekal iman. Perhatikan Imam Syafi’i yang menjadi ulama dengan keluar dari keterbatasan ekonomi. Dunia adalah tempat Allah menampakkan ayat-ayat-Nya.
Baca Lagi: Belajar Iman dari Dhimam
Dalam kata yang lain, kalau benar ingin berkarya, ingin bisa menulis, misalnya, atau pun yang lain, maka pasang niat dan tekad hingga lahir kesadaran kokoh. Lebih jauh, kalau sadar akan adanya keterbatasan, lihatlah Allah Yang Maha Besar. Tuhan yang mengabulkan doa, siapapun dari hamba-Nya yang mau memohon.
Terakhir, perhatikanlah foto dalam ulasan kali ini, itu adalah pembatas yang ada di lantai dua Masjid Ar-Riyadh. Batasan itu perlu supaya semua jama’ah selamat, tidak ada yang lalai dan terjerembab ke lantai satu. Jadi, batasan, dalam kondisinya, sangat kita butuhkan.*