Rosyid baru saja mendirikan shalat Subuh. Setelah berdzikir dan melantunkan doa, tangannya menyongsong Alquran. Pembatas berwarna biru membuatnya melanjutkan bacaan terakhir yang pernah ia lakukan dari Alquran bercover biru dan putih itu. Kali ini ia menemukan satu ayat bahwa dalam hal keimanan jangan pernah lelah apalagi menyerah.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. 5: 54).
“Mudah sekali Allah mengganti suatu kaum, termasuk diriku kalau meninggalkan iman dan Islam di hati ini. Segera Allah akan mengganti,” Rosyid membatin.
Baca Juga: Belajar Iman dari Dhimam
“Oh… pantas saja, Nabi Muhammad SAW sangat luar biasa menjaga imannya. Demikian dengan para sahabat, berlomba-lomba melakukan amal-amal kebaikan. Berarti saya harus benar-benar menghidup-hidupkan iman ini dengan amal-amal terbaik yang bisa kulakukan,” Rosyid terus melakukan penalaran.
***
Rosyid meneruskan aktivitas hariannya. Sampai senja memanjakan mata manusia dengan warna merah yang indah, Rosyid masih berjibaku dengan penghidupannya.
Tibalah malam dan usai mendirikan shalat Isya’ Rosyid membaca beberapa lembar halaman Alquran. Ia kemudian berdoa dan terlelap.
Dalam tidur, Rosyid bermimpi bertemu almarhum guru mengajinya saat di kampung, di bawah kaki Gunung Salak yang dingin.
“Rosyid, apakah arti iman itu bagimu?” Sang guru bertanya sembari menepuk pundak kiri Rosyid.
“Iman itu perkara utama guru. Tidak ada yang patut kita syukuri melebihi adanya iman di dalam dada ini,” Rosyid bersungguh-sungguh menjawab.
“Tapi mengapa selalu ada orang yang menukar imannya dengan kekayaan, kedudukan, dan keduniawian, Rosyid?”
“Saya tidak tahu guru. Saya sendiri takut, jika hal seperti itu menimpaku kelak,” jawab Rosyid dengan mimik ketakutan.
“Muridku, Rosyid. Kalau kamu benar iman, kerjakan apa yang imanmu inginkan. Iman ingin baik, lakukan walau itu berat. Cintai sesama orang beriman. Tegas hatilah dalam bergaul dengan orang-orang kafir. Dan, anakku, Rosyid. Kamu jangan pernah berhenti untuk berjuang di jalan Allah.”
Mimpi itu terputus seketika. Rosyid bangun dengan nafas tersengal. Menoleh ke meja dekat ia membaca Alquran, jam digital mengabarkan waktu pukul 02.00 WIB.
Udara malam itu sangat dingin. Membuat tubuh enggan beranjak. Maunya langsung tarik selimut dan meneruskan mimpi.
Namun gemuruh hati Rosyid mencegah hal itu terjadi. Rosyid bangkit dan berwudhu lalu Tahajud.
***
Ketika sinar mentari baru saja menyapa bumi, Rosyid menemukan satu kemantapan hati.
“Saya akan terus di jalan dakwah ini. Saya akan melakukan apa yang dahulu Nabi SAW lakukan, semampu yang bisa saya amalkan. Inilah jalan keselamatan, karena merawat iman dan menjaga semangatku dalam kebaikan-kebaikan,” batin Rosyid berkata sembari kedua bola matanya menatap matahari yang masih malu-malu untuk berterus terang.
“Daripada nanti Allah mengganti saya dengan orang lain, lebih baik saya Allah catat sebagai hamba-Nya yang mau berdakwah, mau membela agama-Nya, mau capek dan lelah serta berkorban untuk dakwah dan fisabilillah,” Rosyid semakin mantap.
Rosyid pun segera ke kamar mandi. Merapikan diri, sarapan, lalu berangkat mengajar anak-anak SMA di sebuah yayasan Islam.
Baca Lagi: Teguh dalam Kekuasaan, Ilmu dan Iman
Sebagaimana mentari yang disambut seluruh tumbuhan di muka bumi, begitulah kedatangan Rosyid ke kelas. Seluruh muridnya menyambut dengan kerinduan yang begitu kuat, setelah Sabtu Ahad mereka tak melihat wajah Ustadz Rosyid yang mereka anggap selalu menginspirasi dan menggerakkan.*


