Tidak sedikit orang berbicara tentang visi, niat, dan gambaran masa depan dengan penuh semangat. Tetapi, baru tiga hari, satu pekan, bahkan belum tiga bulan, ia sudah kehilangan semangat. Pernah bukan melihat seprti itu atau merasakannya langsung? Itu terjadi karena jalan panjang bisa ditempuh ketika kita tahu alasannya, mengapa.
Seseorang bisa saja rajin mandi pagi dari kecil. Dan, saat remaja bahkan dewasa, ia mulai malas melakukannya. Itu bukan karena dia benar-benar malas.
Baca Juga: Lima Kekuatan Pikiran, Kamu Harus Memilikinya
Akan tetapi karena ia tidak tahu mengapa dia harus mandi pagi. Begitu pun dalam hal ritual spiritual. Anak sejak kecil bisa saja rajin sholat ke masjid.
Seiring waktu, usia bertambah, pergaulan luas, ia menjadi orang yang tampak enggan. Sekali lagi bukan karena ia tidak lagi beriman. Tetapi karena ia tidak cukup alasan, mengapa sholat itu perlu.
Kita cek dalam sejarah, orang yang mampu konsisten, hanya orang yang sadar, mengapa sesuatu ia lakukan.
Orang-orang itulah yang kata Allah tidak akan bertemu rasa takut dan sedih hati. Karena ia tahu mengapa harus istiqomah dalam iman dan Islam.
Sebuah ungkapan menyebutkan. “The man who dont care why, he don’t care everything.”
Ketekunan
Ketekunan adalah salah satu dari buah orang yang berhasil menjawab mengapa ia memilih dan melakukan sesuatu secara terus menerus.
Tanyakan kepada Buya Hamka. Mengapa ia menulis sepanjang hidup. Padahal pada saat ia muda dengan banyak karya tulis, banyak orang Indonesia masih buta huruf.
Kalau Buya Hamka menulis ingin populer, menjadi penulis best seller, dijamin, situasi dan kondisi tidak mendukung dia.
Tetapi, karena Buya Hamka sadar bahwa menulis adalah ibadah dan jihad, ia tak pernah berpikir bahwa berhenti menulis akan membawa keberuntungan.
Tanyakan kepada Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah. Mengapa menghabiskan usia muda dan hidupnya membangun Pesantren Hidayatullah yang menyebar ke seluruh Indonesia.
Bukankah ia bukan keturunan Kiyai dari Jawa. Bukankah yang bisa mendirikan pesantren adalah putra Kiyai dan lulusan Timur Tengah. Tahu mengapa?
Ustadz Abdullah Said melakukan itu karena tahu bahwa pesantren harus juga menyebar di titik pelosok dan pedalaman luar pulau Jawa. Daripada menuntut dan menunggu, lebih baik memulai dan menyiapkan kader.
Orang yang mudah berhenti dan berpindah jalan, boleh jadi bukan karena kurang ilmu atau kurang sabar. Sekali lagi ia kehabisan stok mengapa ia masih harus konsisten di jalan penuh kebaikan.
Tidak Akan Rugi
Sungguh tidak akan rugi orang yang dalam hidupnya menemukan jawaban, mengapa, ia harus melakukan sesuatu.
Baca Lagi: Tegas Membagi Waktu
Khalid bin Walid ra adalah sosok sahabat Nabi yang sepanjang usia kuatnya habis energi dan waktunya dalam medan jihad, peperangan.
Mengapa Khalid bisa sekuat itu?
Terbukti alasannya ketika hendak wafat.
“Aku telah turut serta dalam 100 perang atau kurang lebih demikian. Tidak ada satu jengkal pun di tubuhku, kecuali terdapat bekas luka pukulan pedang, hujaman tombak, atau tusukan anak panah.
Namun lihatlah aku sekarang, akan wafat di atas tempat tidurku. Maka janganlah mata ini terpejam (wafat) sebagaimana terpejamnya mata orang-orang penakut.
Tidak ada suatu amalan yang paling aku harapkan daripada laa ilaaha illallaah, dan aku terus menjaga kalimat tersebut (tidak berbuat syirik).”
Alasan itu menjadikan Khalid tidak pernah merasa lelah dan bosan, apalagi mundur ke belakang dari medan jihad.
Bahkan saat Umar bin Khattab ra memberhentikannya, ia tidak merasa bahwa jihad sudah tidak ada artinya. Ia tetap dalam barisan dan patuh atas keputusan Umar sebagai amirul mukminin.
Sudah tahu bukan, mengapa? Ya, karena Khalid berperang memang untuk menegakkan agama Allah. Soal posisi itu tidak urgen.
Dan, dalam hatinya, ia pun sungguh ingin menjadi syuhada. Namun takdir Allah menghendaki ia meninggal di atas pembaringan.*