“Saya merasa dikhianati dan gagal dalam hidup. Tadinya kami sudah senang akan mendapat SK. Ternyata kami diangkat ke puncak gunung kemudian dihempaskan. Sakit benar,” kata Tiktik Sartika (53) kepada Republika.
Awalnya Tiktik sebagai guru SMAN 23 Pakenjeng Garut mendapat kesempatan mendapat SK menjadi guru PPPK. Namun semua sirna, setelah pembatalan mendadak ia terima.
Baca Juga: Syarat dan Ketentuan Janji Allah
Padahal ia telah mengabdikan diri sebagai guru honorer selama seperempat abad.
Mengapa ada sistem yang seperti itu? Akankah itu pantas kita sebut sebagai ingkar janji?
Ingkar Janji Iman
Jika ingkar janji dalam relasi pekerjaan saja sedemikian buruk, lalu bagaimana dengan ingkar janji dalam hal iman.
Orang boleh saja mengaku beriman, pergi haji, umroh, berulang kali. Bahkan setiap tahun pulang pergi dari tanah suci.
Tetapi, kalau ia tidak mencintai anak yatim, memberi makan orang miskin, kata Allah itu adalah perilaku pendusta, orang yang ingkar janji.
Bangsa dan negara ini tidak kurang orang kaya, tidak krisis orang pintar, tetapi sangat butuh orang yang jujur dengan imannya.
Kalau benar orang tidak ingkar janji dalam iman, tidak mungkin ia menjadikan kekayaan sebagai Tuhan dan kekukasaan sebagai tujuan.
Beruntung masih ada orang yang komitmen dengan iman, mereka tekun sedekah, infak, bahkan taat membayar zakat.
Mereka inilah yang menyelamatkan sistem sosial masyarakat dapat terus berjalan. Menariknya, mungkin mereka bukan orang yang sangat kaya-raya alias konglomerat.
Mereka yang peduli pada imannya tidak akan asyik dengan gelimang materi dan berbangga diri, pamer kekayaan dengan segala rupa foto selfi. Lalu tak pernah peduli.
Mungkin masyarakat atau rakyat tak bisa memberikan hukuman. Tetapi pendusta iman akan langsung berhadapan dengan kekuatan Tuhan. Berani?
Keadilan
Akan tetapi, namanya dunia orang bebas memilih. Yang pasti Tuhan telah berikan penjelasan, bukti dan petunjuk.
Siapa yang tidak mempedulikan petunjuknya, berarti ia menuju jalan kerugian.
Baca Lagi: Memetik Makna Kuatkan Tekad
Siapa yang meremehkan janji dan ancaman-Nya, ia akan bertemu kesengsaraan, cepat atau lambat.
Dan, seperti orang yang sakit hatinya karena diberi janji palsu, kelak mereka yang mendustakan agama juga akan merasakannya, bahkan lebih perih, lebih pedih, dan memilukan.
Lebih-lebih mereka yang punya harta kemudian menjadi kikir, congkak, dan tidak peduli kepada agama, sesama dan semesta.
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.
(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam Neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. “ (QS. At-Taubah: 34-35).*