Kadang yang membuat jiwa lelah bukan pekerjaan, tapi ketidaktahuan diri akan pentingnya menjadi pribadi yang otentik. Pribadi otentik itu lebih mengutamakan kejujuran, kesetiaan dan tampak solid dalam memegang nilai dan keyakinan. Semua itu dia lakukan tanpa rekayasa apalagi drama. Ia melakukannya karena memang begitulah adanya.
Mengapa ada orang yang selesai menjabat tapi tak tuntas untuk mentas dari dunia kebijakan (baca politik)? Orang lain tak melupakan setiap keburukannya. Yang bersangkutan juga seakan butuh untuk terus “membersihkan” citranya. Jawabannya satu, ia telah lama menjadi pribadi yang tak mengedepankan keotentikannya.
Pada akhirnya, orang yang percaya merasa tertipu. Kemudian orang yang tertipu semakin tidak percaya. Ia sendiri pun akan sibuk mencari cara agar orang merasa tak tertipu dan kembali percaya. Dan, itu adalah upaya yang tak akan banyak guna. Sebab dalam interaksi sosial, manusia tak semata punya telinga, tapi juga punya mata, bahkan bisa melakukan analisa.
Bagaimana Otentik itu?
Manusia manapun akan mudah memahami bagaimana menjadi pribadi yang otentik itu.
Pertama, berupaya menjadi pribadi yang terbaik pada versi pribadi. Misalnya, saya suka menulis, maka saya tak perlu tampil seolah-olah saya adalah pengusaha hebat. Tekuni saja dunia tulis menulis itu sampai memberi makna, arti bahkan dampak bagi orang lain.
Kalau kata orang dahulu, kalau memang ayam, jadilah ayam. Tak perlu sok-sok-an terbang. Jadilah ayam yang terbaik. Kira-kira begitu ilustrasinya.
Kedua, hidup otentik pada akhirnya mendorong jiwa kita pada integritas, kejujuran dan kesetiaan, serta kemampuan.
Dalam sebuah lagu dahulu ada yang judulnya “Kun Anta”. Artinya kamu adalah kamu, tak perlu tampil seperti bukan kamu. Kalau kamu memaksa, kamu yang akan menderita. Hidup terasa hampa dan tak punya makna.
Berproses
Menjadi pribadi otentik butuh proses. Ia tak bisa kita gapai dalam waktu sehari, sepekan atau sebulan. Ketahuilah menjadi otentik butuh keseriusan, pemahaman dan hidup yang menyakitkan, baik secara internal maupun eksternal.
Secara eksternal orang yang tumbuh otentik (dalam buku “Apakah Saya Juga Gifted” karya Nancy Dinar) mesti siap untuk dapat pengucilan dari masyarakat. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW dan para nabi serta rasul lainnya. Mereka berkata apa adanya, bertindak dengan keyakinannya dan terus mengajak orang pada cahaya.
Namun akhir dari mereka yang otentik adalah kemenangan, keberhasilan dan kebermanfaatan. Bukankah kita selalu mencari teladan dari sosok yang hebat?
Mereka adalah orang-orang yang hidup dengan keotentikannya masing-masing. Kata Nancy siapa yang berhasil otentik, hidupnya akan tenang, damai dan terus tumbuh dengan idealismenya.
Jadi, apakah kita masih harus tersiksa dengan pura-pura menjadi seperti orang lain?*


