Kali ini saya akan menuturkan kembali kisah yang telah lama saya peroleh. Prinsipnya kisah ini memberikan satu “postulat” bahwa kalau kita bisa menjadi pribadi bermanfaat, bahagia tak akan lari kemana. Layaknya jodoh, begitu memang.
Pertama, kisah dengan Profesor Dr Didin Hafidhuddin, MA.
Dalam sebuah perjalanan mobil dari Bogor ke Depok, saya yang menemani beliau tak mau berhenti bertanya.
Salah satu pertanyaan saya adalah, bagaimana Pak Kyai, begitu kami biasa memanggil sebagai mahasiswa Pascasarjana UIKA Bogor mendesain diri sejak muda.
Baca Juga: Karakter Orang Bahagia
Mantan Ketua Baznas itu mengatakan, saya hanya berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat.
“Sejak kecil saya tekun membaca dan menulis, karena ingin menjadi pribadi bermanfaat. Jadi kalau sekarang saya ada di mana-mana, semoga itu karena saya adalah pribadi yang bermanfaat,” begitu kira-kira ungkapan beliau.
Prof Dr Amin Suma
Senafas dengan Prof Didin, Prof Dr Amin Suma, MA juga mengatakan hal serupa.
Bahwa dirinya kini ada di banyak tempat, semoga karena menjadi pribadi yang bermanfaat.
“Kalau seperti kalian ini, kuliah S1 ya, yang tekun. Itu masih kelas (mohon maaf) tukang. Nanti lanjut S2, mulai belajar mudeng (nyambung). Nah kalau sudah S3 sudah harus lebih manfaatnya, doktor-doktor itu harus mampu menjadi supplier pemikiran bagi umat,” tegasnya.
Kurang Bahagia
Kalau kita memperhatikan kehidupan sehari-hari, mungkin mudah kita menemukan kondisi orang yang kurang bahagia, bukan karena masalah. Mereka menjadi sulit bahagia karena lupa memperhatikan dirinya sendiri.
Baca Lagi: Memahami Kembali Makna Waktu
Akibatnya mereka menjadi abai menempa diri. Mereka lalai dari meningkatkan pergaulan. Biasanya sebagian orang sukanya dengan apa yang hari-hari ia lakukan, walau seringkali tidak bermanfaat.
Jika kita ingin bahagia, jangan menunggu. Mulailah sekarang. Jadilah orang yang bermanfaat bagi sesama. Bekerjalah dengan maksimal, lakukan sebaik-baiknya dengan kemampuan yang ada. Dan, mintalah pertolongan kepada Allah.*