Home Hikmah Jadi Manusia Hebat, Apakah Mungkin?
Hebat

Jadi Manusia Hebat, Apakah Mungkin?

by Imam Nawawi

Saat berbicara tentang Nabi Muhammad SAW, orang cenderung ingat akan nilai religiusitas dan keteladanan akhlak. Namun, sebenarnya kita juga bisa memandang bahwa Nabi akhir zaman itu adalah orang yang begitu hebat. Sosok yang sehari-harinya justru harus kita ikuti. Langsung kita praktikkan.

Hebat secara bahasa artinya amat sangat, dahsyat, bagus dan lain sebagainya. Hal yang Allah sebutkan dalam Alquran, tentang kehebatan Nabi SAW adalah akhlak (QS. Al-Qalam: 4).

Jadi, akhlak itulah yang utama. Sayangnya banyak orang sibuk mencari gelar, haus validasi dan suka melakukan hal-hal sensasional agar mendapat pengakuan.

Padahal yang paling inti dalam kehidupan sehari-hari adalah bagaimana kita menjadi pribadi berakhlak.

Hebat Kognisi

Sampai sekarang, tidak sedikit orang yang masih memiliki pemahaman bahwa intelektual adalah segalanya.

Padahal, sebenarnya intelektual itu dasar agar manusia bisa mencerna inti sebuah pesan, dapat mengambil pelajaran paling pokok dari setiap peristiwa. Dan, mampu meramu cara memecahkan masalah.

Selain intelektual ada kecerdasan emosi (anggap ini sebagai akhlak). Orang yang memiliki akhlak, mungkin kognisinya terbatas, tetapi tutur kata dan perbuatannya relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Orang boleh jadi presiden, menteri, gubernur dan apapun, tapi kalau level akhlaknya rendah, seketika ia akan tidak bernilai di hadapan masyarakat.

Kenapa? Karena nilai manusia bukan seberapa pintar, tetapi sejauh mana bisa berakhlak.

Dalam buku “Cerdas Berbicara di Depan Publik” karya Deni Mahardika, ada sebuah cerita tentang dua mahasiswa, satu hebat kognisi, satu bagus secara emosi. Nantinya terbukti dalam perjalanan mereka dalam dunia kerja, yang bisa survive adalah yang punya kebaikan dalam sisi emosi.

Satu mahasiswa lulus namanya Matt. Temannya bernama Penn. Penn adalah sosok mahasiswa cemerlang dan kreatif. Hebatnya, Penn sadar dirinya hebat. Namun sayang, perusak juga hinggap dalam jiwanya: sombong. Buahnya jelas, tak ada orang mau bekerjasama dengan Penn.

Matt satu jurusan dengan Penn. Ia jauh secara intelektual dengan Penn. Namun Matt pandai bergaul, suka tulus, mau kerja sama, dan mudah memahami orang lain.

Ketika lulus, Matt justru yang punya peluang kerja begitu luas. Ada tujuh perusahaan ternama yang mewawancarainya. Sedangkan Penn hanya diwawancarai oleh satu perusahaan kurang ternama. Sikapnya yang arogan, membuat Penn hanya bisa bekerja selama dua tahun. Karakter takabur membuat Penn harus dipecat, ketika bekerja belum genap dua tahun.

Kesungguhan

Kisah itu perlu kita petik sebagai pelajaran, bahwa akhlak itulah yang akan membuat orang hebat atau tidak. Tetapi kita perlu tekankan, apakah akhlak soal sopan santun? Saya yakin tidak sebatas itu.

Akhlak itu adalah perangai hidup yang menunjukkan seseorang yakin kepada Allah. Berkat kesadara itu lahirlah ketabahan, keberanian, kesungguhan dan segala sifat baik dalam diri seseorang.

Seperti Nabi Muhammad SAW yang sejak kecil komitmen pada nilai kejujuran. Itu membuat Nabi Muhammad SAW jelas dalam dakwah. Nabi Nuh, berdakwah siang dan malam kepada kaumnya. Itu menunjukkan dedikasi tinggi kepada Allah.

Begitu pula dengan Nabi Yusuf yang sabar dengan cobaan, sehingga punya pandangan visioner dan kemampuan hebat dalam mengelola keuangan sebuah negara. Yang menjadikan Mesir kala itu tak perlu ribut soal pemangkasan anggaran, apalagi yang menyangkut hidup rakyat.

Sayangnya, Nabi Muhammad SAW belum kita gali dengan sungguh-sungguh. Padahal, siapapun yang mengikuti Nabi SAW, dalam pengertian sadar menjadi penerusnya, sungguh ia akan menjadi orang-orang yang hebat. Sekalipun orang itu hanya mengamalkan satu sunnah (secara konsisten) dari kehidupan Nabi SAW.

Katakanlah sunnah bersedekah. Ia akan menjadi orang yang bebas (merdeka) dari penjajahan materialisme, yang membuat seseorang lebih buruk dari seekor monyet.

Orang yang kikir, pasti selalu takut kehilangan sepeser uang dan tak berhenti melirik uang orang lain dengan niat untuk mengambil secara batil.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment