Home Artikel Jabatan: Antara Lupa dan Amanah, Antara Kekuatan dan Kezaliman
Jabatan: Antara Lupa dan Amanah, Antara Kekuatan dan Kezaliman

Jabatan: Antara Lupa dan Amanah, Antara Kekuatan dan Kezaliman

by Imam Nawawi

Pernahkah kita sekali waktu bertanya-tanya tentang jabatan? Mengapa banyak orang yang berubah setelah menduduki sebuah jabatan?

Lalu mengapa janji-janji manis kampanye seringkali menguap begitu saja? Mengapa kekuasaan kerap kali disalahgunakan? Kekuatan kadang malah jadi pendorong kezaliman, bukan keadilan. Mengapa?

Mari kita selami fenomena ini lebih dalam. Agar kita terus bersemangat mengambil pelajaran. Jangan terkotak-kotak oleh dikotomi orang yang tak utuh memandang sesuatu. Itu normativitas, ini teori. Semua hal kita perlukan, jika ingin melakukan pembenahan dan perubahan.

Pedang

Jabatan, seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan kesempatan untuk berkarya dan melayani.

Namun, di sisi lain, ia juga menggoda dengan berbagai fasilitas, kemewahan, dan pujian.

Seorang menteri lama menjabat kemudian pensiun. Teman lamanya bertanya, apa bedanya jadi menteri dengan sekarang jadi orang biasa? Ia menjawab, dulu tidak ada macet, sekarang macet kemana-mana.

Artinya ia mengingat posisinya sebagai menteri hanya soal macet. Bukan gagasan dan legacy. Hal ini menunjukkan bahwa kadang kala posisi tinggi kalau tidak memiliki ide akan sama kosongnya dengan tong yang tak terisi.

Godaan inilah yang seringkali membuat orang lupa diri, lupa akan amanah, dan lupa akan tujuan awal mereka.

Ego yang tadinya kecil, dengan jabatan menjadi semakin membesar. Ia mulai senang membuat jarak sosial. Mulai nyaman dengan lingkungan yang penuh intrik politik, semua ini bisa membuat seseorang terlena dan lupa akan tanggung jawabnya.

Mereka mulai merasa bahwa jabatan adalah hak mereka, bukan amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Bagaimana Menyadari Bahwa Jabatan Itu Amanah?

Kesadaran bahwa jabatan adalah amanah harus ditanamkan sejak awal. Jabatan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat.

Pemimpin yang bijak akan selalu mengingat bahwa jabatannya adalah titipan dari Tuhan dan rakyat. Ia akan selalu berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, kejujuran, dan keadilan. Ia akan selalu mendengarkan aspirasi rakyat dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Bukankah Sebaik-baik Kekuatan Itu untuk Melindungi yang Lemah?

Kekuasaan sejati bukanlah tentang menindas, melainkan tentang melindungi. Pemimpin yang baik akan menggunakan kekuatannya untuk melindungi yang lemah dan kerap menjadi korban kezaliman.

Baca Lagi: Paradoks Jabatan Publik

Ia akan menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Seperti kata pepatah bijak, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.”

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk selalu mengawasi dan mengingatkan para pemimpin agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka.

Kita penting menyadari bahwa jabatan adalah ujian. Ia bisa membawa seseorang menuju kebaikan atau keburukan, tergantung bagaimana ia menyikapinya.

Mari kita semua berharap agar para pemimpin kita selalu mengingat bahwa jabatan adalah amanah, dan menggunakan kekuasaan mereka untuk melindungi yang lemah dan menciptakan masyarakat yang lebih baik adalah tugas utama nan mulia.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment