Ismail adalah putra Nabi Ibrahim as. Kita biasa menyebut Nabi Ismail as. Ia adalah sosok muda pemilik karakter teladan. Figur yang benar-benar nyata, menyala dan menerangi dunia sampai kapanpun.
Usia boleh belia tapi iman dan takwa benar-benar a’la. Orientasinya bukan lagi sebatas jargon hidup, tapi jalan ketundukan totalitas kepada Tuhan.
Ia tak suka cari-cari sensasi dengan apa yang jadi miliknya. Ia tak punya andalan selain dari ayah, ibu, iman dan Tuhan yang menjadikannya “ajaib” sejak kecil.
Kakinya yang menghentak bumi Makkah sambil menangis haus, menjadi sebab datangnya semburan air yang hingga kini manusia sedunia menikmatinya, sumur Zamzam.
Saat dimintai pendapat perihal mimpi sang ayah untuk menyembelihnya, Ismail tidak banyak argumen. “Lakukan ayah, insha Allah engkau mendapatiku orang yang sabar”.
Adakah hari ini anak muda yang tak membantah perintah orang tuanya?
Baca Juga: Pelajaran Penting dari Nabi Ibrahim
Jangankan perintah, pendapat pun kalau beda pandangan, rasanya orang tua sudah tak layak lagi punya pemikiran untuk sebuah jalan kehidupan.
“Ini sudah berbeda eranya bapak, ibu. Kenapa saya harus selalu ikut kemauan orang tua,” begitu sebagian anak-anak masa kini yang merasa lebih punya pengetahuan.
Catat, yang merasa. Bukan benar-benar memiliki pengetahuan apalagi iman.
Anak itu hebat
Anak itu cermat
Karena dadanya menyala api takwa
Karena hidupnya jembatan ke Surga
Orientasi
Idul Qurban sejatinya kaya pelajaran. Bagi kaum muda, menggali sosok Ismail pemilik karakter teladan merupakan satu hal yang penting untuk dilakukan.
Pertama, Nabi Ismail sadar dirinya sebagai anak. Oleh karena itu berbakti kepada kedua orang tua adalah urusan utama dalam hidupnya.
Kedua, Nabi Ismail mengerti bagaimana adab berbicara kepada orang tua, apalagi kalau menyangkut keimanan. Tak ada kalimat, selain taat penuh kepasrahan.
Ketiga, Nabi Ismail celik, bahwa iman memang selalu akan mendapatkan ujian. Menghadapi ujian Tuhan dengan sabar, bukan pilihan yang merugikan. Terbukti, Nabi Ismail tidak jadi disembelih. Allah menggantinya dengan seekor domba.
Kisah itu tidak akan sampai kepada kita kalau Allah tidak mengabadikannya dalam Alquran. Riwayat itu tidak perlu Tuhan hadirkan kalau tidak bisa jadi pelajaran, tuntunan dan teladan bagi kita manusia abad digital ini.
Ismail bukan dongeng
Ia nyata
Alquran mustahil tercoreng
Mati, kalau nalar kita sampai tidak percaya
Kemajuan
Mencermati Idul Adha dengan penyembelihan kurban, semestinya membuat reasoning kita bekerja sangat keras untuk memahami apa yang perlu kita lakukan.
Ismail mencerminkan proses pendidikan yang berlangsung hebat. Rapornya tidak saja berisi nilai kuantitatif, tetapi juga motorik implementatif dalam hal ketaatan. Nilai spiritual tinggi yang membentuk karakter diri begitu adi.
Baca Lagi: Hidup Hanyalah Perjalanan
Jadi kisah ini ibarat sebuah warisan besar dari orang tua kepada anaknya. Tinggal bagaimana anak itu memahami cara menjaga dan mengembangkan aset tak ternilai itu. Ia terus berjuang bagaimana menjadikan pusaka itu sebagai satu kekuatan nyata untuk mendorong kemajuan.
Kemajuan yang tak hanya ditandai oleh gedung dan infrastruktur. Tetapi kejayaan yang juga membentuk akhlak manusia dengan baik, sehingga satu sama lain saling menjaga, bukan memangsa.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1445 H.*