Bicara Islam tidak sesederhana asumsi manusia biasa bahkan mungkin sebagian akademisi. Sebab Islam memang tidak sekedar agama tetapi juga peradaban. Dalam dimensi waktu Islam telah mengarungi zaman yang begitu luas nan dalam.
Menarik ilustrasi Buya Syafi’i Maarif dalam buku “Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam” bahwa jika wahyu pertama turun pada 610 Masehi itu berarti Islam telah berlangsung dalam lipatan abad yang begitu panjang.
“Islam bukan lagi agama sederhana, ia sudah kompleks sekali,” tulis Buya.
Baca Lagi: Tetaplah Menuntut Ilmu
“Tafsiran terhadap agama terakhir ini sudah berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan mana yang emas dan mana yang loyang menjadi tidak mudah, kecuali di tangan orang yang dikaruniai ‘aqlun shahih wa qalbun salim,” tegasnya.
Namun dalam konteks dasar, Islam sangatlah mudah untuk sama-sama kita memahami. Terutama dalam konteks sejarah pra dan awal kenabian yang menjadi tonggak tegaknya Islam sebagai agama sekaligus peradaban melalui pembinaan diri dan ekspansi dakwah.
Spirit Iqra’ Bismirabbik
Iqra’ Bismirabbik merupakan perintah Alah Ta’ala yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW dan tentu saja umatnya.
Kita tahu sekarang, bangsa yang akan maju (minimal secara sains dan teknologi) adalah yang memiliki tradisi membaca yang kuat.
Umat Islam, masih tertinggal jauh kesadaran akan aktivitas dasar dan utama untuk membangun peradaban ini, yakni Iqra’ Bismirabbik.
Artinya, untuk menjembatani ilustrasi Buya Syafi’i Ma’arif tadi, sekalipun butuh waktu panjang, Iqra’ Bismirabbik inilah solusi yang umat Islam harus kembali miliki.
Ma’rifatullah
Inti atau tujuan utama dari Iqra’ Bismirabbik ialah ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan sebaik-baiknya.
Dalam bahasa Gus Baha, ma’rifatullah sadar akan sifat-sifat Allah secara hakikat, sehingga hidupnya bermuara pada bagaimana respon Allah terhadap kehidupan diri ini.
Dalam uraian KH. Abdurrahman Muhammad, ma’rifatullah berarti mengarahkan kesadaran diri dengan semua ilmu yang dimiliki semakin mengenal dan dekat kepada Allah.
Beliau bahkan menegaskan bahwa ilmu itu kalau kita bisa mendekat kepada Allah, semakin dekat dan semakin dekat kepada Allah.
Sebagaimana dimensi ibadah yang luas, dekat kepada Allah tak selalu harus dalam konteks ibadah mahdah, tetapi semua aktivitas halal dan Allah ridha untuk manusia melakukannya, termasuk bekerja untuk menafkahi keluarga.
Agenda Utama
Jadi, kalau kemudian kita ingin menjawab bagaimana Islam ke depan, maka mulailah dari yang mendasar ini, sehingga kita bisa fokus membangun kekuatan dasar.
Adapun jenis pengembangan pemikiran, ide dan khazanah dalam dimensi yang memang furu’iyah tetaplah berjalan pada koridor keilmuan, sehingga tidak mengoyak akhlak dan semangat ukhuwah.
Baca Lagi: Tidak Iqra’ Buahnya Malas
Lebih jauh, umat Islam harus jernih melihat anasir-anasir politik dalam kehidupan umat. Sebab, kata Buya Syafi’i, dalam politik kekuasaan, iman seringkali mudah tertukar oleh semangat suku, ras atau keturunan. Buahnya jelas, yakni perpecahan.*