Bertemu buku “A History of Islam in Indonesia, Unity in Diversity” karya Carool Kersten membuatku memandang Islam di Indonesia lebih dari apa adanya. Hal ini karena Kersten punya penilaian unik. Bahwa Islam di Indonesia benar-benar luar biasa. Baik dari sisi dakwah yang berlangsung maupun akulturasi yang solid. Satu hal yang dahsyat. Namun dunia lalai memerhatikan hanya karena Islam di Indonesia tak layaknya Baghdad, Andalusia maupun Istanbul.
Sisi yang juga menarik jadi perhatian adalah bagaimana akulturasi yang sukses Hindu Budha lakukan, kata Kersten justru menjadi tanah subur bagi akulturasi masuknya ajaran Islam dengan damai, luas dan permanen. Permanen karena umat Islam Indonesia mampu mengusir penjajah Belanda dengan identitas yang semakin hari, Islam, semakin bercahaya.
Damai dan Terorganisasi
Faktor yang membuat Islam mudah masuk ke dalam hati masyarakat Nusantara, yang Hindu Budha kala itu karena penyebaran yang berlangsung melalui jalur perdagangan. Cara dakwah damai dan terorganisir.
Berbeda dengan tempat lain yang tunduk karena penaklukkan militer. Islam di Indonesia dan Aisa Tenggara, menerima dakwah Islam dengan damai.
Pelakunya adalah ulama dan pedagang yang menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Metode dakwahnya cantik, luwes dan solid. Jauh dari perilaku memaksakan. Tetapi mengedepankan dialog serta adaptasi budaya lokal yang progresif.
Keadilan
Selain itu, dakwah Islam kala itu menawarkan nilai-nilai sosial yang sejalan dengan beberapa nilai budaya yang telah ada sebelumnya di Asia Tenggara, seperti konsep kedermawanan, keadilan sosial, dan rasa persaudaraan.
Hal ini membuat ajaran Islam mudah disesuaikan dengan kepercayaan lokal, baik dari aspek spiritual maupun sosial.
Penerimaan dari Sisi Kekuasaan
Islam yang rahmatan lil ‘alamin, mampu menyentuh hati rakyat biasa bahkan penguasa kerajaan kala itu.
Banyak kerajaan, seperti Majapahit dan Sriwijaya, yang mengadopsi Islam sebagai agama negara, yang memungkinkan penyebaran agama ini lebih luas dan terorganisir.
Pemimpin kerajaan dan penguasa lokal memainkan peran penting dalam mempopulerkan Islam di kalangan rakyat mereka, menghubungkannya dengan status sosial dan kekuasaan.
Padahal, Tidak Mudah
Fakta itu jelas dahsyatnya kalau kita bisa memerhatikan luasnya Nusantara. Jelas itu bukan perkara mudah.
Wolters punya pandangan jelas akan hal itu, yang Kersten kutip.
“Apa yang dimaksudkannya adalah bahwa luasnya cekungan Samudra Hindia terlalu besar untuk dikuasai oleh satu entitas politik.”
Itu jelas sangat menarik. Artinya, Islam mampu menjangkau pantai demi pantai dan diterima dengan penuh keluasan hati oleh masyarakat Nusantara.
Sisi yang juga keren adalah pusat-pusat kekuasaan di sepanjang pantai yang mengelilinginya menunjukkan toleransi dan keramahan terhadap orang luar, karena bagi para pedagang, selalu ada tempat lain untuk pergi.
Mungkin ini yang menjadikan orang Nusantara kala itu mudah menerima Islam. Karena secara budaya dan jangkauan alam berpikirnya selaras dengan nafas dari ajaran Islam.
Satu kesimpulan yang bisa kita ambil, Islam di Indonesia datang dengan wajah penuh rahmat. Dakwah berlangsung secara damai dan akulturatif. Sisi lain, Islam menguatkan karakter baik yang sudah ada dalam budaya dan kehidupan Nusantara.
Dalam kata lain, kita sebagai kaum muda mesti menyiapkan dakwah yang lebih lembut, tak menjadikan perbedaan sebagai pemicu perpecahan. Belajarlah dari pelaku dakwah masa itu, mereka fokus mengenalkan Islam dalam damai, kontribusi dan solusi.
Ini berarti, PR umat Islam, dalam hal ini para pemuda, untuk sukses dakwah harus punya kemandirian. Artinya kuasai sektor perdagangan. Kemudian perkuat pembinaan lahirnya ulama, ahli ilmu yang berdakwah dengan hikmah. Selebihnya, kita perlu berlomba-lomba merasakan manisnya ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian orang melihat Islam bukan lagi dari yang kita katakan, tapi apa yang kita rasakan.*