Home Artikel Iqra dalam Perang Dunia II
Iqra dalam Perang Dunia II

Iqra dalam Perang Dunia II

by Imam Nawawi

Kita sangat akrab dengan diksi Iqra. Perintah Allah Ta’ala yang pertama kali turun dalam Alquran kepada Nabi Muhammad SAW. Lengkapnya Iqra Bismirabbikalladzi Khalaq. Dan, saat saya menelusuri halaman demi halaman buku sejarah, ternyata Iqra sangat berperan dalam pertempuran, termasuk Perang Dunia II.

Seorang pria bernama Morris Janowitz, kala PD II pecah, usianya 22 tahun. Ia kena aturan wajib militer. Tetapi Morris tidak bertugas pakai helm dan menenteng senjata. Ia mendapat tugas sebagai prajurit pena dan kertas. Ia berada di Divisi Perang Psikologis di London (baca buku “Human Kind” karya Rutger Bregman).

Tugas pria keturunan Yahudi Polandia itu adalah membongkar misteri pikiran Nazi. Hal itu karena tentara Jerman adalah tentara yang luar biasa hampir dalam segala hal.

Rata-rata serdadu angkatan darat Jerman bisa menyebabkan 50% lebih banyak korban daripada serdadu Sekutu. Pihak Sekutu selalu melihat itu karena doktrin, karena nasionalisme. Dan, belakangan ditemukan ternyata tidak seperti itu.

Pertanyaan yang penting bagi kita adalah mengapa Sekutu perlu mengetahui psikologi tentara Jerman? Karena dari situlah kekuatan paling kuat yang harus dilemahkan.

Jadi, Sekutu sadar, kekuatan senjata bukan yang paling utama. Kata Rutger, semangat tentara Jerman yang begitu kuat, itulah yang pertama harus Sekutu patahkan.

Pendek kata, akhirnya Morris berhasil wawancara tawanan tentara Jerman. Saat itu dilakukan, semua menjawab mereka kuat karena “Kameradschaft” (persahabatan).

Baca Juga: 8 Jam ke Garut Selatan Bukan Perjalanan Ringan

Hipotesis bahwa tentara Jerman kuat karena hasil cuci otak, karena ideologi, nasionalisme, terbantahkan. Mereka kuat dan saling melindungi karena tidak mau mengecewakan pertemanan, utamanya dalam situasi perang.

Jiwa

Upaya Sekutu memahami psikologi tentara Jerman tentu sangat menarik. Persahabatan menjadi kunci kuatnya barisan tempur Nazi yang sangat menggetarkan lawan kala itu.

Walaupun sebenarnya hal seperti itu adalah “normal.” Orang punya fitrah untuk bertemu dan bersatu. Dan, dalam situasi sulit, implementasi nilai dasar manusia merupakan benteng paling kuat untuk bertahan bahkan menang, yakni bersatu, bersahabat kata orang Jerman.

Sekiranya Rutger Bregman melihat bagaimana Indonesia dengan bambu runcing bisa mengusir Belanda, ia akan lebih kagum lagi. Karena keterbatasan senjata dan skill militer, justru tetap kokoh karena kekuatan jiwa, bersatu dan memandang penjajahan sebagai kezaliman.

Oleh karena itu kalau ada hal yang penting kita perhatikan dalam banyak situasi dan kondisi, itulah jiwa.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,” dalam lagu Indonesia Raya menotifikasi kita semua, bahwa bangsa yang akan menang, unggul dan jaya, hanyalah yang memiliki kekuatan jiwa, lalu menjelma dalam barisan raga yang tertata dan terkelola.

Egoisme

Perang adalah masa paling menentukan, sebuah bangsa akan menang atau kalah.

Baca Lagi: Jangan Malas, Ingat Umur yang Terbatas

Dalam situasi seperti itu, sikap egois akan membuat semua harapan hangus terbakar dan lenyap. Orang menjadi saling tidak percaya dan mudah sekali sakit hati.

Kalau sudah luka hati, bahasa anak sekarang, “Jadi ngerepotin banget. Bikin nggak bisa ngapa-ngapain, bikin capek.”

Oleh karena itu egoisme yang mungkin menjalar dalam banyak cara berpikir orang belakangan harus segera diatasi. Jika tidak maka itu akan jadi awal kelemahan bahkan kehancuran.

Ingatlah, kalau kita pakai iman, Alquran mendorong kita bersatu di jalan Allah. Kalau kita tidak bersungguh-sungguh bersatu maka bagaimana kemenangan akan kita dapatkan?

Saya kerap mendapat penuturan, bahwa masa KH Abdullah Said membangun pesantren dan gerakan dakwah Hidayatullah, tak boleh ada kader yang bergaya hidup lebih daripada yang lain (sekalipun memiliki kelebihan).

Saya memandang itulah cara terbaik merawat persatuan demi kejayaan umat. Ketika satu sama lain benar-benar menyadari: mereka satu tubuh.

Perang Dunia II memang telah jadi sejarah, tapi perang dalam bentuk lain tetap saja terjadi dan berlangsung. Kita hanya butuh terus Iqra agar tak terkecoh.

Kalau cara berpikir kita masih nafsi-nafsi, semua keindahan masa lalu hanya akan terus jadi bahan cerita. Kita tidak benar-benar mampu mentransformasikannya menjadi realita hari ini, di masa kita hidup dan banyak berbicara.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment