Apakah kita pernah berpikir, apa yang membentuk perilaku seseorang atau perilaku diri kita sendiri? Lalu bagaimana jika perilaku itu buruk dan kita harus mengubahnya?
Teori bahwa sebuah teko tidak mengeluarkan kecuali apa yang kita masukkan, tampaknya dapat membantu bagi siapapun memahami soal ini.
Permasalahan paling serius adalah ketika tidak ada hal yang bisa kita masukkan ke dalam teko. Teko tidak bisa menuangkan apapun.
Manusia hanya akan berpikir, berbicara dan tentu saja berperilaku sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari yang terbentuk dalam tempo panjang.
Perilaku dalam bahasa Inggris adalah “behavior” (American English) atau “behaviour” (British English).
Dalam tradisi masyarakat Barat, perilaku adalah segala tindakan atau respons yang dapat diamati dari suatu organisme terhadap lingkungannya, baik itu sederhana seperti refleks atau kompleks seperti pengambilan keputusan.
Perilaku ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, memiliki fungsi adaptif untuk kelangsungan hidup organisme, dan dapat dipelajari serta diubah melalui pengalaman dan interaksi.
Kedua ejaan tersebut merujuk pada cara seseorang bertindak atau bereaksi dalam situasi tertentu. Ini mencakup tindakan, sikap, dan kebiasaan yang dapat diamati.
Jadi kalau kita mau evaluasi, sebenarnya perilaku kita bisa kita ubah hanya dengan memahami apa yang membentuk kesadaran kita selama ini. Kesadaran tentang apa itu bahagia, tentang apa itu sukses dan tentu saja apa yang kita pentingkan dalam hidup ini.
Jika akal kita mengatakan membaca tidak perlu, maka otak, hati dan indera tidak akan memiliki perhatian terhadap aktivitas penting itu. Sebab perhatiannya memang tidak ke sana (membaca).
Baca Juga: Kapan Mengubah Diri?
Problemnya muncul ketika sudah usia 20 tahun, 35 tahun, 55 tahun, dan dia kurang bacaan, maka seperti teko yang kosong, mudah terombang-ambing. Padahal seharusnya seiring waktu orang semakin punya jalan hidup.
Tetapi apakah orang yang tekun membaca pasti baik? Tidak ada yang bisa menjamin hal itu. Ada satu hal lagi yang harus manusia sadari, yakni pembentukan cara berpikir, cara memahami dan cara merasa bahagia. Itu semua bagian dari pekerjaan yang tidak fisik.
Aksi
Diri kita adalah apa yang menjadi aksi kita sehari-hari. Orang yang tekun membaca, berdiskusi dan bergaul dengan adab akan menjadi pribadi yang menenangkan siapapun.
Sebab, kala ia berkata, ucapannya berbobot. Saat berdiskusi ia bisa memberi pandangan yang tajam dan rasional. Dan, ketika ia berbeda pendapat, ia memosisikan orang lain tetap dengan hormat.
Hal seperti itu orang menyebutnya sebagai perilaku. Sebenarnya itu adalah aksi yang terakumulasi menjadi kuat dalam diri seseorang.
Ubah
Lalu bagaimana supaya kita bisa mengubah perilaku kita? Cek apa yang menjadi tujuan paling tinggi dalam hidup kita.
Jika kita ingin menuju kebaikan yang Allah Ta’ala sukai, maka kita akan mengisi waktu dengan berbagai amal ibadah dan amal shaleh secara berkelanjutan.
Akan tetapi jika kita inginnya hidup senang, tanpa mau tahu proses dan sebagainya, maka berbuat apapun asal tercapai tujuan akan jadi pilihan.
Langkah yang juga perlu kita perhatikan, jika secara mental, kemauan dan tekad kita mudah lemah dalam agenda perubahan, maka carilah lingkungan yang positif.
Lingkungan sosial seseorang dapat mempengaruhi perilakunya. Bergaul dengan orang-orang yang positif dan mendukung dapat membantu kita mengembangkan kebiasaan yang lebih baik.
Namun perlu kita catat, mengubah perilaku adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir.
Kita membutuhkan kesadaran mendalam akan kebiasaan yang ingin diubah, serta komitmen untuk melatih perilaku baru setiap hari, bahkan dalam hal-hal kecil. Konsistensi dan kesabaran adalah kunci, karena perubahan sejati tidak terjadi dalam semalam.*