Bagi kebanyakan orang masa depan itu harus kaya, kaya harta. Tidak heran kalau ada orang memilih jadi koruptor, meski itu bukan cita-citanya. Logikanya sederhana, karena miskin itu susah. Padahal sumber kesusahan adalah hati yang tak ada syukur dan meraih harta dengan jalan ingkar.
Tapi terlanjur, yang kasat mata selalu menggoda. Orang rela kerja siang dan malam kita anggap wajar. Bahkan koruptor yang tertangkap pun orang anggap apes.
Semua itu seakan sah, meski secara substansi itu bukan saja tindakan menjauh dari jalan kebenaran. Tetapi juga jalan melawan Tuhan. Memang bisa menang?
Lalu bagaimana sikap terbaik, menyiapkan masa depan dengan tidak melupakan hari ini, bersyukur kepada Allah SWT?
Rumus Masa Depan
Belajar pada sejarah. Orang yang hidup hari ini harus mengerti bahwa dirinya adalah rangkaian dari perjalanan generasi umat manusia.
Substansi dalam kehidupan ini tetap, siapa yang beriman, bertakwa, dia akan mendapat keberhasilan.
Sebaliknya, siapa yang ingkar, banyak melakukan kerusakan dan kejahatan, tak akan pernah datang kepadanya kebahagiaan.
Sejarah siapa yang harus kita pelajari, pertanyaan lebih dalam lagi.
Bagi kita, umat Islam, tentu saja Nabi Muhammad SAW. Sekalipun beliau utusan Allah, kita harus memerhatikan aspek sosio empiris. Yakni usaha Nabi Muhammad sejak kecil dalam membangun karakter, sikap, relasi, skill dan tentu saja visi.
Tidak mentang-mentang akan menjadi Nabi, kemudian kehidupan putra Abdullah itu serba terfasilitasi. Allah SWT malah menjadikan putra Aminah itu harus berjuang dari nol, bahkan tanpa kehadiran orang tua, kecuali sampai usia 6 tahun. Pesannya jelas, hidup memang harus berjuang.
Itulah rumus membangun masa depan. Tak ada kebaikan bagi yang bermalas-malasan apalagi tenggelam dalam nikmat sesaat dalam kejahatan.
Ibarat Rumah
Membangun masa depan harus kita lakukan dari sekarang, hari ini. Seperti hendak membangun rumah, kita perlu pondasi.
Baca Juga: Merumuskan Masa Depan
Apalagi membangun gedung seperti Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) di Burj Khalifa Dubai yang mencapai 828 meter dengan 163 lantai. Pondasinya harus benar-benar kuat.
Pondasi untuk sukses pada masa depan jelas, yakni: karakter, sikap, relasi, skill dan tentu saja visi. Artinya semakin tinggi masa depan yang ingin kita bangun, maka harus semakin kuat pondasi yang kita tanam.
Jadi, bersegera benahi diri. Perbaiki karakter kita, sehingga menjadi pribadi yang kontributif bagi kehidupan. Miliki sikap yang baik, relasi yang luas. Serta kuasai skill tertentu. Dengan begitu kita bisa membantu sesama, bahkan bermanfaat luas. Seperti KH Agus Salim, selain diplomat ulung, dia juga penulis andal.
Bergerak
Selain itu kita harus terbebas dari virus mager (malas bergerak).
Ketika seorang pengemis datang kepada Nabi SAW, beliau tak memberikan uang atau makanan.
Rasulullah bertanya apa yang pengemis itu miliki di rumah. Ternyata pengemis itu hanya punya dua barang, 1 gayung dan 1 tikar. Nabi meminta itu dibawakan. Lalu Nabi melelang kepada para sahabat. Kemudian ada sahabat yang membeli dengan nilai 2 dirham.
Nabi memberikan uang itu dengan pesan tegas. Satu dirham untuk membeli makanan. Kemudian satu dirham lagi untuk membeli kapak.
Jelas Nabi ingin pengemis itu mengakhiri kegiatan meminta-minta. Tapi mulai halaman baru dalam hidupnya, cari kayu dengan kapak itu, lalu menjualnya ke pasar.
Jadi, Muslim itu harus bergerak. Baik kerja keras dengan otot maupun otak atau keduanya: otot dan otak sekaligus.
Dalam kata yang lain, kalau ingin masa depan baik, berjuanglah dengan bergerak. Jangan malas apalagi suka meminta-minta. Meminta-minta dalam Islam sudah buruk, apalagi kalau korupsi. Para pejabat, harusnya bekerja lebih keras lagi.
Kemudian, kita harus saling menolong, menginspirasi dan menggerakkan untuk aktif bergerak.
Terakhir, hal yang juga utama kita sadari, meski kita mau bekerja keras, bergerak hebat, jangan pernah percaya bahwa harta yang akan menjamin masa depan kita. Sebagian orang terjerembab pada pandangan materialisme, sehingga memandang harta sebagai segalanya.
Akan tetapi, yang bisa menjamin masa depan kita adalah amal shaleh kita sendiri. Oleh karena itu, hiasi selalu hari-hari kita dengan kebaikan-kebaikan. Baik dengan ibadah maupun sedekah.*