Lebih dari dua milenium manusia hidup dalam hitungan Masehi, namun manusia tetap pada kebingungan. Satu setengah milenium Islam hadir di muka bumi, memberikan penjelasan tentang bagaimana meraih hidup bahagia. Hanya saja sedikit manusia yang benar-benar mau meresapi.
Belakangan Rolf Dobelli dalam bukunya “The Art of The Good Life” memberikan penegasan bahwa kebahagiaan itu bukan pada materi, uang atau apapun kekayaan. Kebahagiaan dalam pandangannya ada dalam batin dan pikiran.
Coba perhatikan fenomena “white collar crime” alias kejahatan kerah putih, yang dalam pandangan sosial mereka adalah “orang terhormat” dan terpelajar.
Baca Juga: Bahagia Sekarang Juga
Akan tetapi mereka koruptor, pemain narkoba, pengguna aset publik untuk kepentingan diri, mungkin termasuk tukang main “keadilan” dengan power hukum yang ada pada dirinya.
Logikanya, apakah orang-orang “white collar crime” itu kekurangan uang? Jawabannya jelas, tidak. Lalu mengapa mereka masih korupsi?
Sederhananya orang yang bahagia, tidak mungkin mau mencuri. Berpikir mencuri pun tidak akan pernah. Jadi, kalau orang kaya, punya jabatan dan masih korupsi, tanda bahwa hatinya tidak bahagia. Pikirannya kalut, batinnya semrawut.
Kelompok orang yang seperti itu kata Dobelli adalah kondisi jiwa yang masuk “paradoks easterlin.” Manusia yang walaupun telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, namun tidak pernah bahagia, bahkan dengan uang tambahan yang telah diperolehnya.
Dobelli menegaskan bahwa semua itu tidak berkontribusi apapun terhadap kebahagiaan.
Fenomena Sosial
Sekalipun demikian, perilaku orang hidup dengan berorientasi kesenangan materi seakan tak pernah usai.
Banyak orang yang terjebak kerugian besar karena menganggap orang yang baru dikenal akan memberikan kebahagiaan, entah melalui pekerjaan atau kebaikan yang dijanjikan.
Kalangan terpelajar pun yang encer otaknya dengan IQ tinggi juga tak mampu mempertahankan benteng integritasnya karena badai finansial yang tiba-tiba memenuhi nomor rekeningnya, sampai jumlah yang membuatnya tambun.
Tetapi semua itu ia terima dengan harus menyembelih moral dalam dirinya. Bahkan ada yang harus merelakan kehormatan dirinya.
Padahal, jangankan dalam kacamata Islam, dalam pandangan seorang Rolf Dobelli orang yang melakukan hal seperti itu tidak akan pernah bertemu kebahagiaan.
Perhatikan berapa banyak suami istri bercerai lalu berebut harta?
Betapa selalu ada anak membunuh ayah atau ibunya demi harta warisan?
Bukankah selalu ada berita kriminal lelaki membunuh wanita yang sebelumnya mereka berpacaran, saat sang wanita hamil dan menuntut tanggungjawab, lelaki itu seketika membunuhnya.
Pendek kata, semua itu terjadi karena manusia terobsesi dengan kebahagiaan sementara. Mereka seperti tikus yang melihat makanan dalam kurungan, tak peduli lagi bahaya, sikat dan akhirnya terperangkap.
Kebahagiaan Hakiki
Islam telah hadir sejak 1400 tahun silam. Dan, Rasulullah SAW memberi penjelasan bahkan teladan bagaimana hidup bahagia.
Jika mengacu pada Surah Ali Imran ayat 133-139 maka urutan menjadi orang bahagia itu adalah sebagai berikut.
Pertama, jadilah pembaca. Ya, pembaca fakta dan sejarah atau kejadian masa lalu atau peristiwa terbaru. Temukan benang merah, sehingga memahami dengan baik bahwa sesuatu berdampak ini dan itu.
Baca Lagi: Mengisi Hari dengan Kebahagiaan
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan kita “berjalan” di muka bumi, untuk mengetahui akhir dari hidup orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.
Kedua, pelajari dan pahami betul Alquran yang merupakan bayan (penjelas tak terbantahkan), hudan (petunjuk yang pasti menyelamatkan), dan nasihat (yang pasti menyampaikan kita pada keuntungan dan kebahagiaan).
Jika tiga tahapan itu bisa kita pahami dan miliki sebagai energi dalam diri mengisi kehidupan, berarti telah ada takwa dalam hati ini.
Ketiga, segala hal yang terjadi dalam kehidupan dunia, termasuk semua yang tidak mengenakkan secara fisik, emosi maupun pikiran, kalau kita sikapi dengan kekuatan iman, maka itu bukanlah hal yang patut kita sedihkan.
Sebab, sejauh iman kokoh, takwa terpelihara, dan aktivitas gemar memahami semakin tajam dalam diri kita, apakah ada kebahagiaan yang hilang. Dan, kerugian jenis apa yang sedang kita terima?*