Pernahkah kita merasa ogah melakukan kebaikan kepada orang lain? Itu terjadi karena kita tidak memahami apa hakikat dari berbuat baik itu sendiri.
Pertama, jangan sempit memahami apa itu berbuat baik.
Sebagian orang memahami berbuat baik secara sempit sebagai tindakan transaksional—memberi bantuan materi, memenuhi kebutuhan fisik, atau sekadar menjalankan kewajiban sosial.
Padahal, hakikat kebaikan justru terletak pada kemauan untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, lalu meresponsnya dengan empati yang tulus.
Ketika kita ogah berbuat baik, mungkin karena kita terjebak pada anggapan bahwa kebaikan harus selalu monumental atau diakui.
Mestinya kita menyadari bahwa esensi kebaikan justru tersembunyi dalam kepekaan untuk memahami bahwa setiap orang layak kita perlakukan sebagaimana diri sendiri. Memiliki kelemahan dan harapan. Tanpa kesadaran ini, tindakan baik hanya menjadi beban moral, bukan ekspresi hati yang alami.
Lebih jauh berbuat baik itu tanda tunduk kepada Allah. Yang mana setiap kebaikan yang kita lakukan bukan untuk dapat apresiasi sesama. Melainkan untuk mendapat senyuman dari Allah SWT.
Rugi Tak Berbuat Baik
Kedua, tidak mau berbuat baik sebenarnya kerugian.
Hal itu muncul karena ketidakpahaman terhadap hakikat kebaikan. Kondisi itu sering kali memicu sikap egois atau apatis.
Ketika kita merasa bahwa berbuat baik adalah “kewajiban” yang menggerus waktu atau sumber daya pribadi, kita lupa bahwa kebaikan sejati sebenarnya memperkaya jiwa.
Studi psikologi menunjukkan bahwa tindakan altruistik meningkatkan kepuasan hidup dan mengurangi stres, tetapi efek ini hanya terjadi ketika kebaikan dilakukan tanpa pamrih.
Jika motivasinya sekadar mencari pujian atau menghindari rasa bersalah, kita justru kehilangan makna mendalam dari hubungan sosial.
Kebaikan yang dipaksakan hanya akan menciptakan jarak, bukan kedekatan, karena yang terasa adalah beban, bukan keterhubungan.
Oleh karena itu dasar kebaikan dalam Islam adalah iman kepada Allah, kepada hari akhir, malaikat-Nya, kitab suci, dan Nabi-Nabi. Kemudian mau peduli dengan memberikan harta kepada kerabata, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, memerdekakan hamba sahaya.
Lalu mau mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji. Sanggup bersabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan (Lihat QS. 2: 177).
Memahami Hakikat Kebaikan
Ketiga, memahami hakikat kebaikan. Berarti menyadari bahwa ia bukanlah tentang “memberi” dalam arti fisik, melainkan tentang “membangun” ruang bersama yang lebih manusiawi. Lebih dalam adalah tentang mengikuti kehendak Tuhan, Allah SWT.
Ketika kita ogah berbuat baik, mungkin karena kita belum melihat bahwa setiap tindakan kecil—seperti mendengarkan tanpa menghakimi, tersenyum kepada orang asing, atau sekadar bersabar dalam situasi sulit—adalah bentuk pengakuan terhadap nilai kemanusiaan orang lain.
Kebaikan sejati tidak membedakan antara penerima dan pemberi; ia menghapus hierarki, lalu mengajarkan bahwa kita semua saling membutuhkan dalam perjalanan hidup.
Dengan demikian, mari kita bersegera merenungkan kembali: seberapa jauh kita telah memahami arti menjadi manusia bagi manusia lainnya?
Ramadan adalah momentum kita menjadi pribadi yang antusias bahkan rindu untuk terus melakukan kebaikan demi kebaikan.*