Apa untungnya menulis? Secara materi, tanyakan kepada mereka yang telah sukses dengan buku-buku bestseller. Tapi ada keuntungan non materi yang begitu indah hadir dalam jiwa penulis. Kita akan bahas tiga keuntungan menuangkan pikiran dalam aksara, kata, kalimat dan paragraf itu (menulis).
Mengaktifkan Akal
Pertama, penulis itu terbiasa membaca. Orang yang membaca artinya mengaktifkan akal, hati dan jiwanya untuk memahami sesuatu.
Dalam kata yang lain, seorang penulis punya keuntungan mau dan mampu merawat akalnya dengan baik. Menata hatinya dengan progresif dan meneguhkan jiwa dalam kekuatan moral.
Seperti seorang dokter, penulis punya metode bagaimana mencerna informasi, memetakan data dan mengelaborasinya menjadi satu sajian ide yang sistematis dan menginspirasi.
Oleh karena itu menulis akan membuat kesadaran kita semakin kuat. Melahirkan motivasi dan semangat berpikir dan berkarya yang tinggi.
Menulis setiap hari membuat jiwa kita menemukan ide-ide penting yang mengarahkan dirinya selalu punya pandangan jauh ke depan. Tak terganggu oleh kebisingan situasional yang tidak bermanfaat dan melelahkan.
Kemajuan Pemahaman
Kedua, bermanfaat untuk kemajuan pemahaman, kesadaran dan gerakan kemajuan.
Orang yang tekun menulis ia menjadi pribadi yang bermanfaat. Tentu bagi siapapun yang mau membaca. Orang yang membaca adalah sosok yang selalu ingin mengalami kemajuan dalam pemahaman.
Betapa banyak kisah orang berubah perspektif hidupnya karena membaca. Penulisnya tentu akan sangat bahagia. Jadi, menulis memastikan kita punya peran, punya manfaat. Dan, berkontribusi bagi kemajuan pemikiran umat manusia.
Mudah Bergaul
Ketiga, mudah klik sama siapapun. Klik dalam hal ini adalah nyambung.
Orang yang menulis mudah bergaul dengan siapapun. Karena ia butuh pada perspektif pemikiran yang berbeda.
Semakin tinggi semangat orang menulis, semakin ia bersedia bergaul dengan siapapun yang punya ide, kreativitas dan pemikiran.
Buya Hamka itu pernah dipenjara oleh Soekarno. Tapi begitu ada wasiat Buya Hamka yang diminta menjadi imam dalam shalat jenazah Bung Karno, Buya Hamka tak menolak.
Tradisi menulis Buya Hamka mendorong dirinya mengambil langkah dengan jiwa besar. Bukan menerapkan sikap dengan emosi yang memendam “dendam”.
Lalu, bagaimana kalau kita bukan orang yang bisa menulis seperti ulama, cendekiawan dan cerdik pandai?
Menulislah untuk menata akal dan hati. Dengan begitu kita tidak menjadi manusia yang serba reaktif. Setidaknya kita selamat dari banyak bicara daripada banyak membaca.
Padahal idealnya, setiap Muslim itu gemar membaca, senang berpikir dan fokus beramal. Lebih jauh sadar dan mau merawat kebaikan dengan mengabadikannya melalui tulisan.*