Belakangan publik heboh dengan putusan MK yang akhirnya tampak jelas memberi jalan lapang bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres. Sebagian pihak menolak keputusan itu. Sebagai tanda bahwa pemimpin yang akan maju belum tentu mampu menjadi pemimpin yang sesuai harapan. Pertanyaannya, mengapa akhir-akhir ini Indonesia seperti sulit menghadirkan pemimpin hebat?
Pemimpin yang hebat artinya unggul secara integritas, rekam jejak, ide, visi dan kiprah. Nah, dalam hampir satu dekade ini, apakah pemimpin yang tampil menduduki jabatan kebanyakan adalah orang yang memiliki 5 poin utama di atas?
Sebagian pemimpin, muncul dan duduk di jabatan tertentu, mulai dari bupati, walikota, gubernur dan seterusnya bukan melalui proses tahapan yang jelas. Publik bahkan tidak tahu siapa orang itu. Yang ada sebagian malah seperti hantu, tidak tahu siapa, “ujug-ujug” jadi.
Kenapa bisa? Ya, karena partai politik yang menyodorkan ke rakyat untuk dipilih. Maka tidak heran kalau sebagian ahli dan cendekiawan memandang, partai politik telah gagal menjadi partai yang baik. Karena tidak mampu menyiapkan kader yang terbukti dan teruji.
Dari sini kita bisa menalar, kenapa kemudian banyak selebriti, komedian dan koruptor jadi anggota DPR, mereka bisa jadi karena partai politik terjebak pada cara berpikir pragmatis.
Karena ini sistem pemilu terbuka, one man one vote, maka popularitas, modal dan tingkat keterpilihan tinggi menjadi prioritas setiap partai politik. Kalau tidak, maka akan gagal masuk Senayan. Sementara banyak orang baik abai terhadap politik.
Baca Juga: Pemimpin itu Mendengar Bahkan Bertanya
Kalau ada orang baik masuk politik, yang baik-baik pun menaruh curiga. Sementara kalau ada orang tidak jelas masuk politik, asal terlihat dari keluarga orang kaya, sebagian publik melihatnya wajar. Jadi, kacau!
Mengubah Keadaan
Kondisi tersebut bukan isapan jempol. Sekelas Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Periode 2013-2015, Dr. Suparman Marzuki, SH., M.Si., menyatakan bahwa untuk melahirkan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi sangat sulit di Indonesia.
“Upaya untuk membenahi bangsa ini perlawanannya sangat kuat, sehingga untuk menghasilkan pemimpin yang berintegritas sangat sulit karena mereka akan teraleniasi dengan sistem demokrasi yang transaksional, jabatan hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang”, ungkapnya.
Sulit bukan berarti tidak bisa. Artinya kita masih punya celah atau bahkan peluang untuk mengubah keadaan ini. Caranya?
Sebagai rakyat kita harus melek. Ini langkah paling awal yang bisa kita upayakan. Yakni menyisir calon legislatif 2024 nanti dengan timbangan yang konkret.
Jelas siapa orangnya, ada rekam jejaknya, bukan manusia yang tiba-tiba muncul, dan bisa kita konfirmasi komitmennya dalam kepemimpinan selama ini.
Mau tidak mau, rakyat harus kembali aktif menjalankan perintah pertama dalam Alquran, yakni tekun membaca. Seperti revolusi Prancis, kalau rakyat sadar, keadaan bisa berubah seketika (insha Allah).
Kemudian, pastikan orang yang akan kita pilih nanti adalah orang yang siap mendengar dan amanah. Tidak seperti selama ini, sebagian dari para wakil rakyat seperti memutus jembatan aspirasi, sehingga warga negara dan para wakilnya baik legislatif dan eksekutif seolah (atau malah benar-benar) tidak saling sambung rasa.
Catat
Jangan lupa, walaupun kita hanya rakyat kecil, hari-hari ngurus dagangan kue, kain, baju, atau bakso dan seterusnya, usahakan punya catatan tentang para ketua umum partai politik.
Baca Lagi: Tumbuh dari Konflik
Catat dari mereka yang benar, lurus, dan bertanggung jawab. Demikian pun yang sebaliknya, catat.
Kenapa harus catat sepak terjang para ketua umum partai? Karena kata salah satu anggota DPR, semua rapat bisa membahas apapun, tapi apakah setuju atau tidak, tunggu arahan ketua umum partai politik.
Jadi, agar kita tidak memilih orang yang akhirnya jadi boneka ketua umum partai politik, maka kita harus melihat, mana-mana dari ketua umum partai politik yang memang mampu mendidik anggota partainya sebagai pemimpin. Dan, mana-mana ketua umum partai politik yang menjadikan anggotanya hanya sebagai boneka.
Pada akhirnya, kita sebagai rakyat yang harus introspeksi diri. Jangan-jangan Indonesia selama ini sulit memiliki pemimpin hebat, karena kita sendiri sebagai rakyat tidak peduli terhadap siapa yang akan memimpin. Padahal hadirnya seorang pemimpin berdampak langsung terhadap harga beras, harga BBM dan seterusnya.
Masih mau abai dalam hal politik?*