Menjadi pemimpin Indonesia benar-benar bukan perkara ringan. Beberapa hal menjadi daftar bukti.
Pertama, luasnya geografis Indonesia. Kedua, tingkat literasi dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pembangunan yang masih jauh dari kata merata.
Menjawab tiga hal itu saja seorang presiden harus betul-betul mampu menghadirkan satu konsep dan metodologi penanganan yang utuh dan berkesinambungan.
Baca Lagi: Gairah Kampung Hijrah
Pada saat yang sama tiga hal itu minimal harus menjadi kesadaran kaum muda agar kiranya ke depan, ketika mendapat amanah kepemimpinan ia mengerti bagaimana menjawabnya sejak sekarang.
Infrastruktur
Satu indikasi penting yang bisa kita lihat bersama-sama ialah bagaimana bangsa Indonesia ini menjadi lebih baik, adalah soal infrastruktur.
Dalam perjalanan saya dari Palu ke Tolitoli selain karena menempuh jarak yang panjang, yang karena itu perjalanan harus memakan waktu semalaman.
Saya melihat masih banyak infrastruktur transportasi yang belum seutuhnya memadai. Kondisi jalanan yang mengikuti alur pantai kadangkala harus menanjak kemudian turun dan berliku. Dan, kanan kiri jalan belum ada lampu penerang.
Meski begitu masyarakat di Sulawesi Tengah tidak pernah mengeluh. Justru itu menjadikan mereka begitu “ahli” dalam mengendarai mobil. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menggunakan sepeda motor dari Tolitoli ke Palu.
Mereka justru sangat senang, karena sebelum ada jalur darat masyarakat menggunakan jalur laut.
Tetapi kalau ada orang dari kota besar yang datang dan menempuh perjalanan di sana, tentu apa yang menjadi keadaan masyarakat itu itu sangat membutuhkan solusi konkret dari pemerintah.
Saya sendiri tidak pernah tahu apakah dulu para kandidat presiden itu sempat menikmati perjalanan panjang yang membutuhkan adrenalin.
Literasi
Jadi, kalau bangsa Indonesia bangga dengan pembangunan jalan tol, maka itu belum sepenuhnya menjadi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Karena sebagian dari mereka harus menyusuri infrastruktur jalanan yang apa adanya.
Pada saat yang sama ketika kita berbicara tentang pembangunan manusia, maka kebutuhan akan literasi masyarakat belum banyak yang memberikan perhatian.
Tentu ini satu pekerjaan yang strategis. Namun tantangannya benar-benar tidak ringan. Sebab mayoritas rakyat Indonesia memang belum akrab apalagi muncul kecintaan dan budaya membaca secara masif.
Meski demikian suara yang mendorong pembangunan mengarah pada penguatan literasi masyarakat mesti terus dikobarkan. Setidaknya kamu udah lah yang mulai membangun budaya penting itu.
Bangsa yang rendah literasinya akan mudah menjadi kelompok manusia yang terbakar provokasi. Seperti daun kering dengan sambaran api.
Diskusi dan imajinasinya terbatas pada realitas yang mengelilinginya. Pada akhirnya ketika secara ekonomi juga tidak membaik maka bangsa yang rendah literasinya akan terjebak pada siklus hidup mengutamakan kebutuhan jangka pendek daripada melangkah untuk kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang.
Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memimpin Indonesia butuh niat yang tulus, wawasan tentang negeri yang begitu luas, lengkap dengan aneka problematika mengitari. Sampai pada satu kemampuan penting yaitu membangun budaya literasi bangsa menjadi lebih baik.
Baca Juga: Kreatif Melihat Indonesia
Pemimpin yang seperti itu apakah mungkin lahir dari sebuah tempat yang ia tidak pernah merasakan panas sebagaimana rakyat selalu terpanggang badannya untuk mendapatkan rezeki?
Pemimpin seperti itu apakah mungkin lahir dari komunitas yang hanya mengerti tentang elite dan tidak pernah merasakan tubuh berkeringat sebagaimana sebagian besar rakyat Indonesia memeras keringatnya untuk mencari nafkah?
Amanah Indonesia masa depan ada pada tangan generasi muda. Namun semua kondisi akan menjadi lebih baik jika sedari dini kita semua mengerti apa yang menjadi tantangan bangsa Indonesia.*