Indonesia (maksudnya adalah rakyat) dibuat bingung adalah satu pertanyaan penting. Nyaris dalam banyak hal, frame yang mendominasi adalah politik.
Bayangkan saja, sholat Id di Jakarta International Stadium (JIS) beberapa pihak memandang sebagai eksperimen politik, politik identitas dan lain sebagainya.
Sebagian pihak merespon tudingan politik identitas dan lain sebagainya. Tentu saja itu sehat agar ada dialog satu sama lain, sehingga ada aksi ada reaksi dan seterusnya.
Baca Juga: Pikiran Tentang Politik Perlu Kembali Dijernihkan
Tetapi sampai kapan “dialog” model begitu terus terjadi?
Apakah bangsa Indonesia tidak punya frame lain selain politik?
Padahal, kalau mau normal memandang Sholat Id di JIS, kita semua mestinya bersyukur.
Pertama telah berdiri stadion megah berkelas dunia. Kedua, stadion itu jadi media umat Islam bersyukur akan hadirnya Idul Fitri pasca pandemi.
Politik Identitas
Politik identitas kata La Ode Machdani Afala dalam bukunya “Politik Identitas di Indonesia: Edisi Revisi” tengah melanda dunia, termasuk Amerika Serikat.
“Sejak Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 di awal tahun 2017, kondisi politik Amerika Serikat berbanding terbalik dengan jalan politik para pendahulunya.
Perbedaan tersebut terlihat dari kebijakan-kebijakan politik yang diusung oleh Donald Trump yang dianggap sangat rasial dan diskriminatif.”
Kemudian ia merinci, kebijakan itu meliputi pembangunan tembok pemisah untuk menghalau migrasi warga Meksiko ke Amerika dan larangan kaum Muslim dan para pengungsi untuk masuk ke negara Amerika.
Jelas keputusan itu menuai protes, tidak saja dari warga imigran dan umat Islam, tetapi juga dunia internasional.
Fenomena politik identitas juga terjadi di Indonesia, tepatnya saat pilkada DKI Jakarta hingga lahir gerakan 411 dan 212.
Menurut La Ode itu adalah fenomena politik identitas kontemporer, Indonesia dan Amerika Serikat. Namun satu hal, biasanya itu lahir karena adanya kebijakan yang diskriminatif dan rasial.
Sikap Terbaik
Lalu apa sikap terbaik dalam merespon semua itu?
Pertama, berpikirlah normal. Bahwa normal saja orang Islam sholat Idul Fitri di JIS. Yang penting sholat Id itu pas 1 Syawal 1443 H.
Kemudian kenapa tempatnya mesti JIS? Lebih karena JIS masih baru dan membanggakan. Kedua, dari sisi kapasitas sangat memadai menampung banyak jama’ah.
Kedua, belajarlah untuk menghargai prestasi orang yang berupaya dan bekerja nyata.
Kenapa JIS jadi jelek? Mengapa aktivitas di dalamnya selalu harus dipandang secara politik?
Cobalah berpikir normal saja. Bukankah JIS itu prestasi kinerja pemimpin Jakarta. Kalau ya, sudah, akui saja. Selesai.
Ketiga, identitas bagaimanapun itu melekat pada individu. Sebab melalui identitas manusia bisa dikenal dan diakui keberadaannya.
Jadi, tidak ada masalah sebenarnya dengan identitas.
Baca Juga: Meneropong Perilaku Publik Pada Politik 2024
Masalah yang sebenarnya adalah ketidakmampuan seorang pemimpin mengatasi persoalan yang menjadikan rakyat hidup dalam kesulitan bahkan penderitaan.
Kalau memang Anda peduli bangsa dan rakyat Indonesia, mengapa tidak membantu pemerintah menemukan kebijakan yang tepat?
Kalau tidak bsia membantu, mengapa tidak itu yang dikomentari agar pemerintah sadar dan bergerak serius mengatasi permasalahan yang terus terjadi?
Berhentilah membuat kebingungan. Karena yang akan bingung hanya mereka yang tidak mau belajar dan berpikir secara normal serta kurang stok etika dan akhlak dalam diri.*