Dunia pendidikan di Indonesia kembali berguncang. Walau tak sebahaya guncangan gempa tektonik, kenaikan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) membuat banyak mahasiswa berteriak, sulit bernafas.
UKT merupakan sistem pembayaran yang mengacu pada Permendikbud No. 55 Tahun 2013 padal 1 ayat 3, yakni setiap mahasiswa hanya membayar satu komponen saja per semester.
Mahasiswa Unri (Universitas Riau), Khariq Anhar harus rela berhadapan dengan rektornya sendiri secara hukum. Gara-gara membuat konten video yang memprotes kebijakan UKT, Khariq dilaporkan ke polisi oleh Rektor Unri, Sri Indarti.
Meski pada akhirnya, Sri Indarti mencabut kembali laporannya.
Api UKT?
Mengapa UKT menjadi api bagi mahasiswa?
Sederhana saja, besaran UKT dirasa besar bagi mahasiswa. Dalam hal ini pihak Perguruan Tinggi memang harus benar-benar mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Baca Juga: Bunda Aisah Tak Pernah Ragu Sedekah
Hal ini karena ada asas berkeadilan yang harus dijunjung tinggi. Pada saat yang sama jangan lupa, pendidikan adalah amanah konstitusi yang harus ditegakkan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Gelombang mahasiswa menolak besaran UKT mulai merambat di banyak PTN. Seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Unri (Riau) hingga USU di Medan.
Mahasiswa Unsoed menolak kenaikan, karena besarannya yang mencapai lima kali lipat. BEN Unsoed juga melakukan protes terhadap rektorat atas kebijakan tersebut.
UIN Jakarta
Gelombang penolakan UKT itu juga menjadi agenda mahasiswa UIN Jakarta. Para mahasiswa bahkan merasa terjebak meski telah lulus masuk UIN melalui jalur undangan atau SPAN PTKIN 2024.
Kenaikan UKT mencapai 30 – 50 persen alias rata-rata naik Rp. 2 sampai 3 juta.
Dalam kata yang lain, soal UKT ini telah menyerang dunia pendidikan tinggi secara umum. Jakarta maupun daerah kondisinya bisa kita sebut 11-12.
Lalu apa yang bisa kita jadikan pelajaran?
Renungan dan Aksi
Pertama, pemerintah harus memiliki keberpihakan langsung, kalau perlu mahasiswa di PTN tidak perlu bayar UKT.
Baca Lagi: Masa Muda Harus Berprestasi
Kedua, pihak kampus jangan dibiarkan bekerja menanggung sendiri kebutuhan operasional pendidikan. Apa arti Indonesia merdeka kalau negara tidak mampu menjamin pendidikan bagi rakyatnya.
Ketiga, jika memang harus membayar, maka terapkanlah nilai-nilai persaudaraan, persatuan, keadilan dan pemerataan. Jangan sampai ada anak bangsa sudah diterima kuliah, namun mundur karena tidak bisa membayar.
Bayangkan saja kalau Presiden Soekarno masih hidup sekarang, melihat anak-anak Indonesia harus demonstrasi memprotes biaya kuliah. Mau kemana sebenarnya pendidikan tinggi Indonesia?
Apalagi kalau sekiranya seorang rektor melaporkan mahasiswanya sendiri, yang seharusnya ia pandang dan posisikan sebagai anak bangsa kemudian mendekam dalam penjara itu benar-benar terjadi, mau apa kita dengan masa depan bangsa?
Masalah ini harus segera pemerintah atasi dengan aksi. Jangan dengan retorika. Setidaknya ini adalah sebuah polusi pertama yang nyata mengancam diksi bonus demografi. Mungkinkah generasi Indonesia akan lebih baik, jika mereka tidak bisa kuliah karena tidak mampu membayar?*