Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari situasi dan kondisi geopolitik yang terjadi kala itu.
Bung Karno dan banyak tokoh bangsa yang sadar bahwa Indonesia harus jadi bangsa yang seutuhnya membaca dengan sangat jeli, sehingga sekuat tenaga memperjuangkan kemerdekaan.
Itulah poin utama yang disampaikan oleh narasumber Majelis Online Pemuda yang bertemakan “Wawasan Nusantara dalam Percaturan Dunia” Shofwan Al-Banna, PhD dosen Hubungan Internasional UI.
Ia menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya mungkin dan benar-benar diraih karena para pejuang kita adalah pembaca kelas berat. Jadi paham apa yang akan terjadi dan karena itu mampu bertindak cepat.
Baca Juga: Desain Politik 2024
Dalam kata yang lain, Soekarno, Agus Salim, Natsir dan guru bangsa Tjokroaminoto adalah sosok pembaca kelas berat, yang itu dalam konteks historis wahyu Alquran, benar-benar memanivestasikan perintah membaca (Iqra’) secara sempurna, Iqra’ Bismirabbik.
Wawasan Nusantara
Sementara itu Kepala Departemen Hubungan Antar Bangsa, Babeh Dzikru menerangkan bahwa untuk membawa Indonesia unggul, kader muda bangsa, terutama Pemuda Hidayatullah harus memiliki penguasaan yang mendalam tentang “Wawasan Nusantara.”
Dalam Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN disebutkan bahwa Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingungan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara agar masyarakat mencapai tujuan nasional.
Jadi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan kemudian bahu-membahu menciptakan kultur dan lingkungan hidup yang baik untuk kesejahteraan dan keadilan.
Dalam kata yang lain kalau belakangan sering terjadi kekacauan baik secara sosial dan pemikiran, maka bisa kita asumsikan, banyak orang tidak kenal lagi apa itu Wawasan Nusantara.
Atau kemungkinan kedua, sudah menganggap Wawasan Nusantara tidak lagi penting.
Sempoyongan
Kembali pada ulasan Showan Al-Banna, kondisi kekuatan global belakangan dengan sistem liberal order yang menawarkan kesejahteraan tengah sempoyongan menghadapi perubahan kekuasaan yang terus terjadi.
Pada sistem liberal order itu banyak pembangunan berlangsung namun sedikit manusia yang bisa akses.
Sebagai contoh, orang membangun rumah dan memasarkan produk rumah ada pada banyak tempat. Tetapi masyarakat yang bisa membeli sangat sedikit. Itulah sistem kapitalisme.
Jadi, kata Shofwan, kita mengalami kelangkaan bukan karena barangnya tidak ada, tetapi karena memang begitulah sistem ekonomi kapitalis.
Nah, ketika kekuatan besar itu mulai sempoyongan harusnya muncul kekuatan baru yang mampu mempercepat “shift of power” itu sendiri. Apakah anak-anak muda Indonesia siap?
Baca Lagi: Pantangan Bagi Pemuda
Syaratnya sederhana, kembali kepada cara bagaimana para tokoh bangsa kala itu. Sadar dan terpanggil moralnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Yang mana, itu muncul karena pengetahuan yang amat dalam dan luas tentang siklus perubahan bangsa dan negara.
Sekarang Indonesia membutuhkan anak-anak muda yang mampu membaca seperti Soekarno itu. Terlebih suhu geopolitik sedang naik turun. Nah, apakah ada yang siap?*