Diksi etika mungkin mulai tenggelam. Namun etika tetap urgen dalam kehidupan kita, manusia. Bahkan Indonesia selalu butuh orang-orang yang punya komitmen tinggi terhadap etika.
Menurut Bung Hatta, mengutip pandangan Socrates tentang etika, itu adalah timbangan budi mengenai yang benar. (Lihat buku “Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia” karya Mudji Sutrisno).
Jadi etika versi Bung Hatta, “Belajarlah untuk terus tahu mengenai kebaikan.”
Etika juga sangat urgen untuk menghayati tujuan hidup. Mau apa jadi presiden, untuk apa jadi tokoh, bagaimana seharusnya menjadi intelektual, politisi, hakim, polisi dan lain sebagainya.
Dan, Kata Bung Hatta, “Jadinya menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk hidup.
Baca Juga: Cerita Bersama Tentang Cita-Cita
Jika hal ini bisa orang pahami dengan baik lalu menjadi penerapan hidup hingga menjadi sikap, maka ia akan mudah hidup dengan mengedepankan etika.
Inti Manusia
Kenapa etika penting, karena itulah inti manusia.
Kita tidak memungkiri manusia membutuhkan makanan dan minuman dan lain-lainnya, termasuk hasrat seksual.
Akan tetapi manusia bukan sebatas itu. Manusia tidak bisa hidup dengan prinsip living pleasantly, yang penting hidup menyenangkan. Manusia tetap butuh etika, terutama dalam interaksi dengan sesama, bahkan dengan alam dan semesta.
Ketika seseorang telah kehilangan etika, maka hedonisme menjadi jalan ia mengisi kehidupan. Sesuatu dianggap bernilai kalau benda itu mengandung nilai yang menyenangkan, menggairahkan dan memberikan kepuasan.
Oleh karena itu cara mendapatkan tidak terlalu soal. Soal satu-satunya adalah bagaimana memperolehnya.
Dalam pandangan kaum hedonis epikurian, hidup itu yang penting senang. Karena baik itu kalau menghasilkan kesenangan. Sedangkan buruk itu kalau seseorang gagal dan bersedih hati.
Kalau kita tarik dalam konteks pemilu, baik itu menang pemilu. Buruk itu yang kalah pemilu. Maka bagaimanapun caranya, menang itu harus, karena itulah yang baik.
Dan, saat itu menjadi karakter seseorang, maka ia telah kehilangan etika, nir etika. Kalau sudah begitu, apakah ia masih bisa kita anggap sebagai manusia?
Buta Nilai
Ketika seseorang kehilangan etika, ia menjadi kaum yang menuhankan kesenangan. Sekilas hidup tanpa etika seperti menjanjikan. Namun, sebenarnya menyulitkan.
Baca Lagi: Etik yang Tak Berkutik
Hal ini karena dalam pemikiran tanpa etika orang menjadi buta terhadap nilai-nilai kebaikan.
Akibatnya tidak ada orang yang mau berkorban, tidak lagi ada patriotisme, heroisme, asketisme bahkan tidak ada lagi solidaritas.
Dan, kita semua paham, bahwa kemerdekaan Negara Republik Indonesia itu lahir karena adanya pemimpin dan rakyat yang mau berkorban, berjuang sampai titik darah penghabisan.
Jadi, kalau kita masih ingin menjadi manusia, maka rawatlah etika dalam diri. Hidup bukan semata soal kesenangan diri sendiri. Sebab kalau itu yang terjadi, Indonesia tidak akan pernah mampu mengusir penjajah.
Hidup beretika artinya siap hidup dengan bijaksana, penuh makna dan berpegang pada nilai-nilai kebajikan (virtue): kebenaran,keadilan, dan sebagainya.
Karena pada hakikatnya, kesenangan saja adalah nilai paling rendah dalam kehidupan. Kesenangan pribadi bukanlah nilai utama yang layak diperjuangkan.*