Siapa tidak kenal Imam Ghazali, sosok ulama luar biasa sampai-sampai dunia mengenalnya dengan gelar Hujjatul Islam.
Begitu luar biasa ilmu yang dituangkan oleh Al-Ghazali untuk dunia, buah pemikirannya pun menjadi perisai umat Islam dalam menghadapi keilmuan sekuler di era sekarang.
Menurut Prof.DR. Hamid Fahmy Zarkasyi saat paparan buku karyanya di INSISTS (30/1/18) yang berjudul “Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan Membaca Pemikiran Religio-Saintifik al-Ghazali” Al-Ghzali mampu mengembalikan peran Tuhan dalam sains yang sebelumnya tersekularkan sebagaimana dipisahkannya peran Tuhan oleh ilmuan Barat.
Baca Juga: Jadilah Guru Sejati
Berbicara Al-Ghazali tidak ada yang lebih patut disampaikan selain dari kekaguman yang amat mendalam.
Prof. DR. Ali M. Ash-Shalabi dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk menuliskan bahwa ada beberapa hal yang begitu kuat dan menarik di dalam diri Al-Ghazali.
Faktor Penggerak
Beberapa hal itu ada dalam uraian berikut.
Pertama, Al-Ghazali adalah sosok yang cinta terhadap ilmu pengetahuan, mencari keyakinan dan berbagai hakikat sesuatu, sehingga ia pun bersemangat mempeleajari berbagai ilmu pengetahuan pada masanya, hingga memperlihatkan kecerdasan intelektual dan superioritasnya atas teman-teman seangkatannya.
Kedua, memiliki hafalan yang begitu kuat.
Ketiga, memiliki kecerdasan luar biaa. Pengetahuannya melebihi standar, terhadap beragam pengertian segala sesuatu ia tidak memahaminya melainkan dengan sangat mendalam.
Keempat, ahli dalam menjelaskan dasar-dasar akidah di Madrasah An-Nizhamiyah. Pakar di dalam menjelaskan pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah.
Renungan
Ketika memiliki semua kekuatan ilmu, kemudian reputasinya menjadi sangat baik dan popularitasnya terus menanjak naik, Imam Ghazali justru melakukan perenungan.
Sebuah perenungan yang tidak biasa, karena akhirnya ia mengubah haluan hidupnya dan menjadi ulama luar biasa sampai akhir zaman.
Baca Lagi: Manusia Kelas Keledai
Renungannya ini oleh Ash-Shalabi dalam buku di atas.
“Ternyata aku menenggelamkan diri dalam berbagai kenikmatan dunia. Berbagai kenikmatan dan kesenangan dunia telah datang kepadaku dari berbagai penjuru.
Aku pun memperhatikan pekerjaan-pekerjaanku – yang terbaik adalah belajar dan mengajar-, dan ternyata aku berhadapan dengan ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat dalam mempersiapkan perbekalan menuju alam akhirat.
Kemudian aku pun berpikir sejenak mengenai niat dari kegiatan belajar-mengajarku. Ternyata aku lebih mendapatinya sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dihadapkan kepada Allah atau tidak ikhlas. Melainkan karena faktor pendorongnya adalah memperoleh pangkat dan jabatan serta popularitas.
Dengan kenyataan ini, maka aku berkeyakinan bahwa aku sedang ebrada di tepi jurang kehancuran dan aku yakin berada di pinggiran jurang neraka.
Apabila aku tidak mengintropeksi sikap dan perilakuku, maka aku akan segera binasa.”
Demikianlah Al-Ghazali menyadari dirinya untuk selanjutnya melakukan upaya tazkiyatun nafs dengan sangat luar biasa. Hingga akhirnya ia menulis kitab monumental “Ihya’ Ulumuddin” yang menjadi inspirasi yang tak pernah kering umat Islam gali hingga masa kini, baik oleh Islam maupun Barat. Subhanallah.*