Mas Imam Nawawi

- Opini

Ilmu, Gelar dan Perbuatan, Mengapa Perlu Kita Dudukkan?

Dalam satu pekan ini saya menemukan fakta-fakta yang bikin kita mengelus dada. Hampir semua media mainstream tak ada yang lepas dari fakta lama dan belum bisa sirna dari Indonesia. Yakni korupsi. Dahulu mungkin yang dominan melakukan korupsi adalah pejabat. Kini, dosen dengan gelar pendidikan doktor pun mulai tak tahan untuk tidak korupsi. Semua fakta itu […]

Ilmu, Gelar dan Perbuatan, Mengapa Perlu Kita Dudukkan?

Dalam satu pekan ini saya menemukan fakta-fakta yang bikin kita mengelus dada. Hampir semua media mainstream tak ada yang lepas dari fakta lama dan belum bisa sirna dari Indonesia. Yakni korupsi. Dahulu mungkin yang dominan melakukan korupsi adalah pejabat. Kini, dosen dengan gelar pendidikan doktor pun mulai tak tahan untuk tidak korupsi. Semua fakta itu membuatku berpikir lebih dalam tentang apa sebenarnya ilmu, lalu apa makna gelar dan bagaimana hubungannya dengan perbuatan manusia.

Saya pun membuka halaman demi halaman dari buku yang judulnya “Hamid Fahmy Zarkasyi Biografi Intelektual, Pemikiran Pendidikan, dan Pengajaran Worldview Islam di Perguruan Tinggi”. Saya temukan bahwa makna ilmu adalah cahaya yang “menancap” ke dalam dada.

Makna Ilmu

Masih dalam buku itu, kalau kita merujuk pandangan Imam Al-Ghazali, ilmu adalah representasi makna atas realitas sesuatu oleh jiwa yang rasional lagi tenang. Dengan begitu ilmu itu adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa.

Jadi Imam Al-Ghazali memahami bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan informasi atau hafalan di kepala. Tapi apa yang bersemayam dalam hati, menentukan cara kita menimbang, menilai dan mengambil keputusan.

Ia menekankan bahwa ilmu adalah makna yang tertangkap oleh jiwa ketika berhadapan dengan kenyataan. Jadi, ilmu tidak hanya berbicara tentang data yang kita baca atau dengar, tetapi bagaimana akal yang sehat dan hati yang tenang mampu memahami esensi dari sesuatu. Dengan pemahaman ini, ilmu menjadi lebih dari sekadar pengetahuan teknis; ia hadir sebagai kesadaran yang hidup dalam diri.

Oleh sebab itu AI bukan alat yang bisa menggantikan manusia sebagai pemilik ilmu. AI bisa kita ibaratkan orang yang punya kecerdasan di kepala. Tapi tidak pada hati. Jadi wajar saja kalau belakangan muncul ahli AI, yakni Geoffrey Hinton, yang meminta pengembangan AI jangan sampai tak terkendali. Karena AI bagi pelaku kejahatan akan menimbulkan kerugian sangat besar. Dalam kata yang lain urusan ilmu kita tetap butuh guru, meski AI bisa suplai informasi. Ingat AI hanya bisa membantu otak dalam kepala bekerja. Bukan hati dalam dada bisa memahami.

Dalam kata yang lain, kalau kita tarik ke kehidupan sehari-hari, ilmu berarti sesuatu yang benar-benar melekat dalam jiwa hingga mengarahkan cara berpikir dan bertindak.

Misalnya, seseorang bisa tahu bahwa sabar itu baik, tapi baru disebut berilmu ketika kesadaran itu tertanam dalam dirinya hingga ia mampu bersikap sabar saat diuji. Maka, menurut Al-Ghazali, ilmu sejati bukan sekadar tahu, melainkan paham dan menyatu dalam karakter seseorang. Inilah yang membuat ilmu punya nilai nyata dalam membentuk kepribadian dan perilaku.

Gelar dan Perbuatan

Dari pembahasan soal ilmu itu, meski saya hanya sempat mengambil makna dari Imam Ghazali yang dijelaskan oleh Prof Hamid, pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu tidak ada hubungannya dengan gelar. Oleh karena itu gelar-gelar pendidikan tidak bisa menyelamatkan manusia dari perbuatan buruk. Sejauh yang memilikinya tak memahami apa itu ilmu dengan baik dan benar.

Orang-orang yang seperti itu kalau dalam Al-Qur’an terkategori sebagai kelompok manusia yang tidak memahami. Akibatnya ia memandang bahwa uang lebih penting dari ajaran Tuhan. Mereka yang terseret pada alur berpikir seperti itu, cenderung akan menyediakan kecerdasannya sebagai kuda yang bisa diperbudak oleh penguasa yang tak kenal ilmu.

Padahal yang benar adalah uang kita perlukan untuk menegakkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Pada level ini kita perlu belajar kepada Abu Bakar ra, Umar bin Khattab dan lain sebagainya, yang komitmen menjadikan uang bahkan kekuasaannya utuh untuk menghadirkan kehidupan masyarakat yang adil dan sentosa.*

Mas Imam Nawawi