Home Kisah Ilmu dari Kang Maman: Sesungguhnya Kita Tak Pernah Kehilangan Ide
Ilmu dari Kang Maman: Sesungguhnya Kita Tak Pernah Kehilangan Ide

Ilmu dari Kang Maman: Sesungguhnya Kita Tak Pernah Kehilangan Ide

by Imam Nawawi

Tepat hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023, saya dan kawan-kawan bertemu Kang Maman yang ditemani oleh Ibu Emmy K (Wasekum II) Perhumas. Semoga Kang Maman dan Ibu Emmy sehat selalu. Panjang lebar obrolan saat itu, yang paling kuingat adalah sesungguhnya kita tidak akan pernah kehilangan ide.

Ungkapan itu dari Kang Maman, saat mengisahkan kegiatan literasi perihal “Meningkatkan Minat Baca” di hadapan 600 siswa dan siswi SMK Sandikta Bekasi.

Tidak sekali dua kali memang. Saat kita bertemu dengan orang dan berbicara tentang menulis, satu menu yang berulang ditanyakan adalah, bagaimana menemukan ide.

Baca Juga: Menggali Ide Kang Maman

Dan, kondisi yang paling ekstrem, biasanya kala kita bertemu dengan orang yang sudah cukup sering bertemu dalam komunitas menulis, akan tetapi tak muncul juga hasil tulisannya. Ia akan berkalimat, minimal seperti ini. “Saya kesulitan menemukan ide.”

Tangan Ibu

Dalam momen sore yang cerah dan masih terasa “terik” itu, Kang Maman bertanya kepada peserta, apakah ada yang pernah menghitung berapa lama tangannya menyentuh tangan ibu.

Sebagian peserta mulai tersentak. Jelas karena kebanyakan anak zaman sekarang lebih sering mengusap layar handphone daripada tangan ibundanya. Terlebih dalam temuan sebuah riset, orang Indonesia rata-rata makan 5,7 jam dengan ponsel.

Akan tetapi ada seorang peserta yang lebih dari sekadar tersentak. Ia tampak sesenggukan dan mulai tampak mimik sedih dan sedikit lagi tangisnya akan pecah.

Kang Maman kemudian melakukan interaksi dengan anak itu. Subhanallah, anak itu telah lama hidup yatim piatu. Ayah dan ibunya telah lama meninggal dunia. Suasana haru pun menyebar ke seluruh peserta.

Jangankan mengusap tangan penuh kasih sayang, menatap sang ibu saja sudah tidak bisa ia lakukan. Perlahan suasana pertemuan itu menjadi cair dan pada akhirnya peserta mulai berani mengungkapkan rasa, ide dan keinginannya.

Yang Kita Rasakan

Menulis bukan (semata) soal berpikir rumit dan rigid. Akan tetapi bisa juga tentang apa yang kita rasakan. “Karena membaca yang paling dalam adalah kita merasakannya sendiri, menyaksikannya sendiri,” tegas Kang Maman.

Baca Lagi: Nikmatnya Menguliti Diri Sendiri

Kang Maman pun mendorong agar langkah seperti itu juga Laznas BMH lakukan agar kisah dan perjalanan dakwah para dai yang progresif dan inklusif itu bisa jadi bacaan yang memberi inspirasi kepada Indonesia.

Kang Maman menerangkan, “Saya melihat para dai BMH itu inklusif dan toleran, karena ada dai asal NTT tugas di Mentawai. Ada yang dari Jawa Barat tugas di Sulawesi Tengah, NTB dan lainnya. Itu, kan, fakta unik dan menarik, bagaimana dakwah itu inklusif dan toleran benar-benar ada. Tugas kita bagaimana semua fakta itu tertulis dalam buku.”*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment