Sejak DPR mengesahkan RUU IKN menjadi UU pro kontra perihal Ibu Kota Negara terus terjadi, hangat dan kian panas.
Terbaru sebanyak 45 tokoh dari berbagai kalangan hadir menentang UU IKN itu. Mereka melakukan petisi guna mendesak pemerintah membatalkan rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur.
Para tokoh itu terdiri dari Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Faisal Basri hingga Din Syamsuddin.
“Ya. Itu pada dasarnya ‘Petisi Keprihatinan’– yang dengan berbagai alasan logis– mengimbau Presiden Jokowi untuk tidak membangun IKN baru,” ujar Azyumardi kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis, Sabtu (5/2).
Rasional
Jika mau mendalami dengan objektif mengapa sejumlah tokoh melakukan petisi dan menolak maka hal itu sangat rasional.
Pertama, Indonesia dalam kondisi masih dilanda wabah. Wabah virus masih terjadi yang itu berarti butuh keseriusan tinggi dari pemerintah untuk menyelamatkan rakyat. Mulai dari sektoor kesehatan, hingga ekonomi dan pendidikan.
Kedua, kondisi keuangan negara sangat terbatas. Apalagi harus dikerahkan untuk membiayai pembangunan mega proyek IKN.
Ketiga, proses pengesahan RUU IKN menjadi UU terlampau sangat cepat.
Meskipun tidak ada regulasi yang menjelaskan batas cepat dan lama sebuah proses pengesahan, tetap saja hal itu mengundang banyak pertanyaan publik.
Oleh karena itu wajar jika petisi itu menilai bahwa pemindahan IKN ke Kaltim tidak berpihak secara publik. Hal itu hanya menguntungkan segelintir orang.
Sejauh ini belum banyak keterangan yang menguraikan pandangan pemerintah bahwa IKN penting dan mendesak.
Dengan demikian, maka satu langkah bijaksana jika pemerintah mau mengedepankan sikap tenang dan mau berdialog dengan hati terbuka.
Solusi
Pemindahan Ibu Kota Negara sejatinya membutuhkan kajian yang utuh dan menyeluruh.
Sebuah langkah kurang bijaksana jika dalam upaya pemindahan ibu kota proses yang berlangsung mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Sekalipun dalam hal politik langkah semacam itu memberi keuntungan tersendiri bagi yang memiliki agenda, tetapi disadari atau tidak hal itu akan terus mengundang pro-kontra.
Ketika energi bangsa terpecah seperti itu bukan hal mustahil, negeri ini akan terus riuh dengan pro-kontra.
Semestinya hal itu tidak perlu terjadi jika sebuah kebijakan benar-benar memperhatikan kemaslahatan rakyat dengan penuh kebijaksanaan dan ketulusan.*
Mas Imam Nawawi