Berpikir ulang, ini diksi keren. Jadi begini, menjelang Dzuhur (11/6/25) seorang kolega mengirimkan link artikel kepadaku. Isinya adalah tentang pertemuan dia dan teman-temannya dengan Anies Baswedan. Siapa tak ingin melihat isi konten itu, kalau ada foto Anies Baswedan bersama mereka. Tapi saya menemukan satu kalimat yang menghentak dari Anies kepada mereka, para pemuda itu. Kalimat yang kalau dipublikasikan, benar-benar kita butuhkan bersama.
“Jangan mudah menyalahkan lingkungan. Bisa jadi metode gerakan kita belum kompatibel dengan cara berpikir generasi ini.”
Pandangan ini bagiku sangat rasional dan progresif, bahkan bisa dibilang introspektif.
Tidak sekali dua kali, saya mendengar orang berusia senior yang saban lelah cenderung menyalahkan anak muda.
“Susah anak sekarang, maunya instan-instan saja. Tidak bisa seperti kami dahulu.”
Kalimat itu hanya contoh dari yang pernah orang sampaikan. Saya menduga sebagian kita juga pernah mendengar substansi kalimat yang seperti itu.
Berpikir Ulang, Membenahi Cara Berpikir
“Jangan mudah menyalahkan lingkungan.”
Bagi saya Ini adalah inti dari sikap progresif. Daripada mencari kambing hitam di luar, kalimat ini mendorong kita untuk melihat ke dalam.
Lingkungan (dalam konteks ini mungkin audiens, zaman, atau tren) memang selalu berubah.
Menyalahkan lingkungan hanya akan membuat kita stagnan dan tidak mencari solusi. Ini adalah ajakan untuk bertanggung jawab atas efektivitas pesan atau gerakan kita.
Jadi ayo berpikir ulang. Kalau kata Kang Maman, mari Iqra kembali.
Perbaiki Metode
“Bisa jadi metode gerakan kita belum kompatibel dengan cara berpikir generasi ini.”
Bagian ini menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa metode itu tidak statis.
Cara berpikir, nilai-nilai, dan prioritas suatu generasi itu berbeda. Apa yang efektif di masa lalu belum tentu relevan atau dapat diterima sekarang. Ini menunjukkan bahwa ada kesadaran untuk beradaptasi dan melakukan inovasi.
Sebuah pengalaman kecil. Selasa lalu (10/6/25), saya memberi paparan tentang berpikir rasional untuk anak SMA.
Awalnya saya berpikir, sepertinya tidak apa-apa menggunakan baju koko. Tapi kemudian saya berpikir ulang, sepertinya lebih relevan kalau saya menggunakan kemeja dan dibalut rompi.
Saya pun memilih opsi kedua. Targetnya anak-anak SMA itu tak melihat saya sebagai orang yang secara style berpakaian terlalu ada gap. Hasilnya, mereka antusias dan merasa dekat. Diskusi berjalan baik, meski dalam beberapa momen, saya harus memancing dengan cara lebih keras. Bahasa anak sekarang, sedikit maksa.
Pastikan Bisa Diterima
Metode memiliki peran utama. Terkhusus dalam hal bagaimana sebuah pesan disampaikan agar bisa diterima dan dipahami oleh target audiens saat ini.
Ini juga menyiratkan bahwa ada gap antara apa yang disampaikan dan bagaimana itu diterima, dan fokusnya harus pada jembatan untuk menutup gap tersebut.
Secara keseluruhan, Mas Anies melalui kalimatnya itu mengajak anak muda yang aktif dalam dakwah untuk mau melakukan refleksi. Bahasa gampangnya, ingin berpikir ulang, restart lagi cara memahami konteks.
Itulah bentuk dari cara berpikir yang matang dan anti-praduga dari sosok bernama Anies.
Ia menantang kita untuk tidak terjebak dalam pola pikir lama, melainkan terus mengevaluasi dan memperbaiki diri demi relevansi dan efektivitas.
Sungguh ini adalah mentalitas yang sangat penting untuk setiap gerakan atau organisasi yang ingin tetap relevan dan berdampak di tengah perubahan zaman.*