Rasionalitas itu perlu, tetapi tidak cukup untuk menopang ketenangan hidup. Tentu saja rasional jika seseorang merasa senang karena memiliki banyak uang. Lalu, apakah ada orang yang tetap bahagia walau sedang kekurangan harta? Jika ada, bagaimana menjelaskannya secara rasional? Jawabannya adalah iman.
Hidup dalam Islam bukan sekadar soal rasional atau tidak rasional. Namun, ini tentang seberapa dalam keimanan di dalam hati. Seseorang yang tetap tenang dan bahagia di tengah kesulitan, baik karena masalah ekonomi, bencana alam, atau hal buruk lainnya, adalah buah dari iman yang kuat.
Musibah Sebagai ‘Tadzkirah’ dan Penguat Keyakinan
Menariknya, hanya iman yang bisa membuat seseorang memandang kesulitan, bahkan musibah, sebagai wasilah penguat iman.
Dengan pandangan ini, ia yakin bahwa kesulitan bukanlah akhir segalanya. Justru, hal itu adalah pemantik kesadaran baru dan penting. Dalam bahasa ulama, ini adalah tadzkirah (peringatan lembut) dari Allah agar jiwa kembali kepada fitrahnya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, setiap musibah yang menimpa seorang Mukmin adalah dengan izin Allah.
Beliau juga berkata, “Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11).
Hakikat Kesulitan
Kesulitan hidup adalah hal yang penting dalam hidup manusia untuk membentuk ketahanan mental, emosional dan spiritual. Selain itu secara lebih mendalam, ujian yang Allah berikan kepada setiap manusia adalah untuk menilai dan membedakan siapa yang benar-benar beriman. Kemudian siapa yang memiliki penyakit hati, yakni mereka yang gagal dalam meyakini keimanan mereka.
Namun demikian Allah telah menegaskan bahwa dalam setiap kesulitan pasti juga ada sisi kemudahan. Oleh karena itu sikap kita yang paling penting adalah bagaimana bisa optimis dan tawakal kepada-Nya.
Ketika Allah berfirman, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirah: 1). Seakan-akan Allah mengajak kita untuk menerima dan memahami situasi sulit yang kita hadapi dengan baik. Baru setelah itu kita coba menemukan jalan keluar dari masalah yang ada. Dalam bahasa konseling ini kita kenal dengan istilah self-awareness dan self-acceptance.
Dalam kata yang lain, Allah ingin kita memahami sesuatu dengan sebaik-baiknya, terutama secara hakikat. Harapannya dengan begitu kita tidak terperangkap oleh masalah dan kesulitan. Namun kita bisa mendudukkan masalah, kesulitan dan hal yang tidak kita sukai dengan kekuatan iman yang akan membuat nyala optimisme dalam hati tak akan mengecil apalagi sampai padam.
Introspeksi dan Taubat
Petunjuk ini mengubah musibah jadi sarana introspeksi dan taubat.
Pernyataan ini sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Beliau berpendapat bahwa musibah tidak akan diangkat melainkan dengan taubat.
Jadi, kesulitan yang dialami seorang hamba akan menjadi rahmat karena ia mau belajar dan kembali pada Allah.
Sebaliknya, kondisi sulit akan menjadi azab bagi pribadi yang lalai dan menolak petunjuk.
Oleh karena itu, bersyukurlah kita sebagai Muslim. Kita mendapatkan perspektif supra rasional dalam memandang kehidupan.
Inilah cara pandang yang membuat kita tenang. Kita jadi mampu menyikapi kehidupan yang kadang rasional, tapi seringkali juga tidak pasti, fana, dan semu ini dengan jiwa yang tenteram.
Orang beriman itu yakin kepada ayat-ayat Allah SWT dalam Alquran.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia, dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (Q.S. an-Nisa [4]: 79).*
Kecerdasan Baru
Ketika seseorang memiliki kesadaran ini maka ia telah sampai pada apa yang oleh Paul G. Stolz sebut sebagai kecerdasan baru: Adversity Quotient (AQ).
AQ sendiri memiliki tiga bentuk. Pertama, AQ sebagai kerangka kerja konseptual yang baru untuk mengerti dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
Kedua, AQ merupakan ukuran untuk mengetahui respon individu dalam menghadapi kesulitan. Ketiga, AQ yakni berupa serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan.*


