Apa yang penting seorang pemimpin sadari kala mengemban amanah yang menanggung hidup mati rakyat?
Apalagi kalau hidup mati itu bukan sebatas urusan jasad, tetapi juga ruhiyah. Pemimpin seperti apa yang harusnya tampil dan siap mengemban amanah sebessar itu?
Pikiran itulah yang muncul dalam benak Abu Bakar Ash-Shiddiq, kala mendapat amanah meneruskan kepemimpinan Nabi SAW.
Abu Bakar yang merupakan sabahat kesayangan Nabi SAW itu sadar bahwa dirinya hanya manusia biasa. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah Ta’ala. Jelas tidak sama dan tidak akan pernah sama kualitas dalam kepemimpinannya.
Baca Juga: Agar Pemimpin Mendapatkan Cinta
Ketika Nabi Muhammad mendapatkan ketaatan umatnya tanpa tapi tanpa nanti. Sangat berbeda dengan sosok Abu Bakar, yang lagi-lagi bukanlah sosok seorang Nabi, layaknya Nabi Muhammad SAW.
Atasi Gangguan
Abu Bakar menyadari dirinya bukanlah seorang Nabi. Maka Abu Bakar fokus mengatasi beragam potensi gangguan yang melemahkan iman dan soliditas persaudaraan kaum Muslimin.
Oleh karena itu sikap Abu Bakar terhadap perusak akidah dan iman kaum Muslimin adalah jelas, yaitu tegas.
Pria yang publik mengenalnya sebagai sosok lembut itu mendadak berubah tegas. Tidak ada cara dipolmasi bagi mereka yang menentang. Perang harus kita kobarkan untuk mengatasi para pembangkang.
Keputusan itu jelas bukan hasil musyawarah yang mudah. Umar termasuk yang mempertanyakan.
“Bagaimana engkau akan perangi manusia sementara Rasulullah bersabda, saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan syahadat. Barangsiapa bersaksi demikian, maka darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah?”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah, akan kuperangi.”
Artinya seorang pemimpin memang harus tegas kala berurusan dengan agenda syariat, akidah dan iman kaum Muslimin. Tidak ada diplomasi apalagi kompromi.
Sayangnya banyak orang sekarang memimpin tanpa landasan yang jelas dan tegas. Akibatnya hawa nafsu yang berkuasa.
Akibatnya menjadi jelas, pemimpin tidak tahu sikap dan tempat. Kapan harus tegas, lemah lembut, berkasih sayang, diplomasi, negosiasi dan lain sebagainya.
Kehancuran
Lihat bagaimana Fir’aun memandang dirinya, sebagai Tuhan manusia. Maka tanda-tanda kemukjizatan Nabi Musa alayhissalam yang hati nuraninya sendiri mengakui, ia dustakan.
Bahkan ia membuat program yang tidak jelas, membangun pencakar langit hanya untuk kesombongan di hadapan rakyatnya. Katanya ingin melihat Tuhannya Musa.
Tetapi begitulah pemimpin yang telah kehilangan kesadaran diri. Fir’aun membuat aturan, semua orang hanya boleh percaya pada dirinya. Jangan ada yang percaya kepada orang lain. Dan, saat itu terjadi, maka tibalah masa Fir’aun tenggelam secara terhina.
Waktu berjalan dan terus bergulir, akhirnya, mereka yang sejalur dengan Fir’aun dalam arti sombong dan semena-mena, mengakhiri kehidupan dunia dengan kenistaan dan kehinaan.
Baca Lagi: Makna Kekuasaan
Dan, tidak ada yang bisa mereka hasilkan, selain kehancuran dan kehancuran. Mulai dari kehancuran moral, alam, birokrasi, hingga akhirnya kemanusiaan. Semua itu terjadi karena ia gagal sadar sebagai pemimpin, yang harusnya tunduk pada kebenaran iman dan ilmu. Tetapi malah memilih tunduk kepada hawa nafsu.*