Suatu saat Natsir berkunjung ke sebuah pesantren. Seperti termaktub dalam buku “Patah Tak Tumbuh Hilang Tak Berganti” karya Hadi Nur Ramadhan. Ia bertanya kepada seorang santri, mengapa memilih menimba ilmu di pesantren. Santri itu menjawab untuk bermanfaat di tengah masyarakat. Natsir yang ahli dalam logika pun bertanya, “Bagaimana kalau masyarakat tidak membutuhkanmu.” Santri itu terdiam. Namun Natsir segera memberikan jawaban bahwa kita sendiri yang harus terpanggil membantu masyarakat. Saya kira itulah yang menjadi hakikat dari kepahlawanan.
Pahlawan dalam bahasa Yunani adalah hero, artinya pelindung. Kristi Poerwandari dalam artikel “Pahlawan di Masa Kini” yang terbit di Kompas menuliskan bahwa arti hero (pahlawan) menunjuk pada keutamaan seseorang karena adanya kehendak moral yang kuat. Mau melakukan kebaikan untuk orang lain. Bahkan rela berkorban untuk komunitasnya.
Masih menurut Kristi, pahlawan secara psikologis artinya pribadi yang memiliki karakter penting, inspiratif dan menghidupkan harapan. Sederhananya kaya akan keteladanan.
Konsep itu senafas dengan syarat menjadi pahlawan nasional seperti peraturan dalam perundang-undangan yang berlaku. Pertama, WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI.
Kedua, memiliki integritas moral dan keteladanan. Ketiga, berjasa terhadap bangsa dan negara. Keempat, berkelakuan baik. Kelima, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.
Kelima, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindakan pidana penjara paling singkat lima tahun.
Masih Adakah Pahlawan?
Sejarah Indonesia memang begitu harum dengan jasa para pahlawan. Akan tetapi apakah pahlawan hanya ada dalam sejarah? Bukankah sejarah itu perlu kita pahami untuk mengokohkan kaki dalam membangun umat, bangsa dan negara?
Oleh karena itu menarik artikel Imam Nur Suharno di Republika tentang “Menjadi Pahlawan Kehidupan.”
Baca Juga: Saatnya Ucapkan Ayahku Pahlawanku
Menurut Imam, pahlawan itu punya kontribusi bagi orang lain, memberikan implikasi positif bagi orang lain dan untuk semesta alam.
Ia melanjutkan, “Menjadi pahlawan tidak harus berperang.” Artinya era kita sekarang masih ada pahlawan. Bahkan idealnya kita juga siap menjadi pahlawan.
Tantangannya jelas, bagaimana kita melawan kebodohan, melawan kemaksiatan, menentang korupsi, menghapuskan kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya. Termasuk berjuang secara konsisten mencerdaskan bangsa melalui dakwah dan pendidikan.
Semua itu adalah jalur-jalur kepahlawanan di era sekarang. Bahkan melalui zakat, infak dan sedekah, yang manfaatnya dapat membantu orang lain, itu pun bagian dari spirit kepahlawanan yang harus kita sadari, kuatkan dan kokohkan.
Terpanggil
Kembali pada pandangan M. Natsir, bahwa kita harus terpanggil dalam membantu masyarakat, maka hakikat kepahlawanan ada pada kesadaran, ketulusan, perjuangan dan pengorbanan.
Tampaknya ini patut menjadi renungan kita semua. Adakah selama ini, kala diri menjadi wakil rakyat, menjadi menteri, menjadi gubernur, bupati, polisi dan lain sebagainya, itu karena terpanggil membantu masyarakat?
Jadi kalau ada seruang membantu sesama, kita harus segera menyambut dengan suka cita. Jangan merasa enggan karena yang bisa kita berikan kecil. Segeralah berikan bantuan sekecil apapun.
Atau kita melihat itu sebagai sarana melanggengkan kekuasaan dan sumber dana untuk diri sendiri?
Seorang pahlawan tidak pernah memandang jabatan, pangkat, harta, dan kedudukan sebagai tujuan. Itu hanya sarana, karena yang abadi adalah pemikiran yang mendorong tindakan yang secara nyata membawa masyarakat pada kebaikan, kebahagiaan.
Semakin kita sadar hakikat itu, semakin mudah kita memiliki karakter kepahlawanan, seperti sikap berani, penuh semangat dan rela berkorban.
Meskipun negara telah menyediakan prosedur seseorang bisa menjadi pahlawan melalui UU Nomor 20 Tahun 2009, tidak berarti kita harus punya niat sebatas itu.
Tetaplah terpanggil menjadi pribadi bermanfaat bagi masyarakat dan berkaryalah. Lakukan perjuangan yang faedahnya bisa menjangkau seluas-luas umat manusia.*