Home Artikel Guru Menghukum Wali Murid Meradang
Guru Menghukum Wali Murid Meradang

Guru Menghukum Wali Murid Meradang

by Imam Nawawi

Guru menghukum wali murid meradang, tampaknya kerap hadir dalam bentuk fakta demi fakta dunia pendidikan kita. Terbaru seorang guru di Gorontalo harus rela “dicukur” paksa oleh wali murid, karena tidak terima anaknya disanksi potong rambut atas pelanggaran yang diperbuatnya.

Sang guru itu adalah Ulan Hadji, ia sehari-hari mengajar di SD Negeri 13 Paguyaman, Gorontalo. Rambut sang guru itu dipotong secara paksa dan diminta menandatangani surat pernyataan permintaan maaf.

Merespon peristiwa itu Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melihat bahwa sebenarnya orang tua siswa dapat melapor ke kepala sekolah, guna mendapat fasilitas dialog dengan Ulan ketimbang harus main hakim sendiri.

Baca Juga: Bu Guru Nani Ajak Orang Tua Tak Terjebak Nilai Akademik

Sementara itu Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda memandang aksi wali murid atau orang tua itu tidak tepat dan berlebihan.

“Saya menyayangkan sikap orang tua siswa yang semestinya bisa dilakukan dengan cara damai, secara baik-baik lah. Saya kira tindakan orang tua itu berlebihan dan seharusnya tidak dilakukan,” kata Huda kepada wartawan, Jumat (20/1/2023) seperti juga lansir detik.com.

Salah Kaprah

Pendidikan sekarang memang seperti kehilangan esensinya. Adian Husaini kerap mengatakan bahwa pendidikan itu bukan sekolahisme. Yaitu sebuah pemahaman yang melihat bahwa sekolah itu pendidikan dan pendidikan itu adalah sekolah.

Ketika pendidikan adalah sekolah, kemudian orang tua membayar (katakan mahal) ke sekolah, begitu ia merasa terganggu dengan laporan sang anak akan perilaku guru, maka orang tua akan merasa punya hak menuntut, bahkan berperilaku berlebihan.

Orang tua yang demikian akhirnya kurang menyadari bahwa guru adalah pendidik. Guru bukan pesuruh dalam pembelajaran. Akan tetapi, sekarang sebagian besar orang memang memahami demikian.

Akibatnya anak-anak kesulitan memahami perilaku dirinya, salah atau benar. Asal ada yang ia tidak suka dari guru atau pengasuh kalau berada di pesantren, ia akan mengandalkan orang tuanya untuk “membalas” sang guru yang ia tidak sukai.

Pada saat yang sama, memang sekarang selalu ada orang menjadi guru bukan karena niat tulus. Ia rela menjadi guru dengan pandangan bekerja, sebatas profesi. Pada tahapan inilah kemudian guru sering kehilangan daya untuk tampil sebagai teladan, lembut dan penuh perhatian.

Solusi

Menjawab masalah ini tidak cukup hanya sekolah, orang tua dan guru. Pemerintah juga harus turun gunung membenahi dengan cara pandang bahwa pendidikan jangan sampai menjadi institusi yang justru merobohkan moral, adab dan akhlak anak Indonesia.

Para guru juga jangan terlalu lelah dengan urusan administrasi yang akhirnya menjadikan perhatiannya terkuras habis, sehingga tak lagi sempat menyapa apalagi mendoakan murid-muridnya.

Baca Lagi: Bahagia Sekarang Juga

Pendidikan harus menjadi tempat paling aman, indah dan nyaman bagi anak-anak bangsa. Boleh ada hukuman, tapi jangan berlebihan. Demikian pun orang tua murid harus mendapat perhatian. Jangan memandang sekolah adalah bengkel kerusakan moral.

Kalau masalah ini segera bisa kita atasi bersama, insha Allah masa depan pendidikan Indonesia masih dapat kita harapkan. Akan tetapi, kalau justru dunia pendidikan sering menjadi “pertunjukan” kekerasan dan ketidakbaikan, boleh jadi, cepat atau lambat orang tidak lagi merasa perlu ke sekolah.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment