Home Opini Guru dan Dosen, Dituntut Bermutu Dibiarkan “Ngamen”
Guru dan Dosen, Dituntut Bermutu Dibiarkan "Ngamen"

Guru dan Dosen, Dituntut Bermutu Dibiarkan “Ngamen”

by Imam Nawawi

Judul ulasan sekarang adalah “Guru dan Dosen, Dituntut Bermutu Dibiarkan ‘Ngamen.'”

Secara teori semua orang paham guru dan dosen itu esensial. Terlebih kalau ingat amanah konstitusi, kita kudu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tapi benarkah guru dan dosen dapat perhatian sebagai garda terdepan mencerdaskan kehidupan bangsa?

Sebagian dosen ada yang bertahan mengajar karena berharap masa PKWT (Perjanjian Kerja Antar Waktu Tertentu) berakhir dengan perubahan jadi dosen tetap.

Baca Juga: Menjadi Guru Peradaban

Tetapi kala harapan tinggal angan, mau tidak mau, dosen harus putar otak.

Kalau yang sebulan hanya mendapat Rp. 800 ribu, secara terpaksa harus “ngamen” alias nyambi pekerjaan lain.

Padahal tuntutan terhadap guru dan dosen secara pribadi harus bermutu.

Untuk bermutu guru dan dosen mesti menghajatkan dana. Dana beli buku, punya perangkat mengajar yang memadai dan seterusnya.

Cara mendidik pun harus berkualitas. Namun, apakah itu mungkin terwujud kalau gaji saja tidak cukup?

Jadi, kalau kita bertanya, kenapa Indonesia banyak masalah belakangan ini. Boleh jadi karena “kualat.”

Kualat sama guru dan dosen yang belum mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.

Menghidupkan Negara

Beberapa hari ini saya berulang kali membaca sejarah Ertugrul.

Untuk memastikan putranya yang bernama Osman memiliki kapasitas sebagai pemimpin, Ertugrul menyerahkan pendidikan Osman kepada Syaikh Edebali.

Singkat cerita, saat Osman memegang tampuk kepemimpinan. Syaikh Edebali memberi pesan.

“Wahai muridku, hidupkanlah manusia, maka kamu menghidupkan negaramu.”

Osman memahami nasihat itu dan melaksanakannya. Akhirnya Osman membangun pusat-pusat pendidikan generasi muda.

Osman memegang teguh nasihat itu. Bahkan kala tiba masa menjelang wafat, Osman menitipkan wasiat kepada putranya, Orhan.

“Wahai putraku, kupesankan kepadamu untuk senantiasa menghormati dan memuliakan ulama, perhatikanlah selalu urusan dan kebutuhan mereka, perbanyaklah untuk mengagungkan mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka. Karena mereka tidak memerintahkan, kecuali dalam kebaikan.”

Jadi, kalau kita bertanya, mengapa Turki Utsmani bisa menguasai dunia hingga lebih dari 6 abad lamanya. Tidak lain karena mereka menghormati guru, dosen plus ulama.

Muliakanlah Guru dan Dosen

Indonesia dalam catatan BPS pada 2022 memiliki hampir 270 ribu dosen yang tersebar pada 3000 kampus negeri dan swasta.

Baca Lagi: Gejolak Anak Muda

Angka dosen itu harusnya segera menjadi prioritas pemerintah untuk memberikan layanan terbaik.

Memuliakan guru dan dosen hakikatnya membangun manusia dan memajukan negara.

Sebaliknya, membiarkan guru dan dosen, sama dengan merusak masa depan bangsa dan negara.

Teringat saya akan sebuah dialog seorang doktor yang dialog bersama temannya yang menjadi dosen pada negeri lain.

Menjadi dosen di negeri lain, menjadikan hidupnya tenang. Subsidi dan beasiswa berlaku bagi diri dan anak-anaknya yang sekolah.

Tetapi doktor yang di Indonesia berkata, kalau ilmu hanya untuk hidup senang, untuk apa ada kata berjuang.

Pulanglah ke Indonesia. Biarlah kita tidak dihargai sebagai dosen seperti negeri lain, tetapi setidaknya Allah melihat kita punya niat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pahit dan getir kita rasakan saja. Insha Allah ilmu kita bermanfaat. Karena ilmu bukan untuk senang-senang, tetapi ilmu untuk beramal dan jihad memajukan umat, bangsa dan negara.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment