Apakah guru masih mulia atau guru kini sebatas pekerja?
Kasus yang menimpa Supriyani, seorang guru honorer di Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan publik. Ia harus menghadapi proses hukum setelah dilaporkan oleh orang tua murid yang juga seorang polisi, atas tuduhan penganiayaan. Insiden ini menggugah pertanyaan penting: mengapa guru, yang seharusnya menjadi sosok yang dihormati, kini rentan menghadapi kriminalisasi?
Akibatnya tidak sedikit guru memilih sikap diam ketika berhadapan dengan murid nakal. Belakangan ramai POV (Point of View) yang menggambarkan fenomena guru tak berani menegur murid yang nakal atau sedang berkelahi.
Syahrul Mustofa dalam bukunya “Mencari Perlindungan Guru Menemukan Jalan Hukum yang Membebaskan Guru dari Pelecehan, Kekerasan, dan Ketidakadilan” menegaskan bahwa perlu kepastian, kemanfaatan, keadilan dan kebahagiaan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas mencerdaskan anak bangsa.
Perlindungan Hukum bagi Guru
Secara etimologi guru adalah pendidik, yang bertanggung jawab terhadap perkembangan murid dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) murid, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Walakin guru tidak lagi mendapat penghargaan atau perlindungan sebagaimana mestinya, termasuk dari wali murid.
Menurut tulisan media seperti Kompas, ada regulasi yang seharusnya melindungi guru dari kriminalisasi.
Namun, faktanya, kejadian seperti ini menunjukkan bahwa perlindungan tersebut belum berjalan optimal.
Ketika upaya guru dalam mendisiplinkan murid justru berujung pada pelaporan, perlu ada refleksi mendalam mengenai peran guru dan pandangan masyarakat terhadap pendidikan.
Tantangan Pendidikan dan Pandangan Masyarakat
Dewasa ini, pendidikan kian dipandang sebagai transaksi material. Sekolah unggulan dan favorit identik dengan biaya tinggi, yang kemudian membuat sebagian orang tua memandang guru hanya sebagai pekerja yang “dibayar untuk mengajar.”
Sikap ini mendorong orang tua merasa berhak untuk mengkritik bahkan menuntut guru hingga ke jalur hukum ketika merasa tidak puas.
Padahal, profesi guru adalah profesi mulia yang membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Namun, realitas saat ini membuat banyak individu berbakat enggan terjun ke dunia pendidikan karena pandangan yang memudarkan nilai profesi ini dan tantangan kesejahteraan yang belum memadai.
Peran Keluarga dalam Pendidikan
Pendidikan keluarga seharusnya berjalan seiring dengan pendidikan di sekolah. Kasus seperti yang menimpa Supriyani menjadi refleksi bahwa peran keluarga dalam mendidik anak masih perlu ditingkatkan.
Tindakan orang tua yang melaporkan guru ke meja hijau menunjukkan pergeseran pandangan; sekolah bukan lagi tempat membangun budi pekerti, melainkan menjadi ajang transaksi yang sarat tuntutan.
Ketika terjadi masalah, alih-alih mencari solusi bersama, beberapa orang tua lebih memilih jalur hukum.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di rumah.
Perlunya Dukungan Pemerintah
Pemerintah memiliki peran krusial untuk memastikan bahwa guru mendapatkan perlindungan yang layak.
Baca Juga: Fokus Pada Peluang, Bukan Hambatan
Aturan tentang perlindungan guru perlu dapat penguatan, bersamaan dengan dorongan agar keluarga memahami tanggung jawab mereka dalam pendidikan anak.
Pemerintah harus hadir dalam semua aspek, baik untuk guru, sekolah, maupun keluarga, agar pendidikan di Indonesia tetap kokoh dan bermartabat.
Apabila kita membiarkan situasi ini terus terjadi, maka ke depan pendidikan di Indonesia akan runtuh secara substansi.
Oleh karena itu pemerintah wajib hadir dan bertindak dalam situasi ini. Guru harus dihargai bukan hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai pilar penting dalam membentuk masa depan bangsa.
Pendidikan yang bermakna lahir dari sinergi antara sekolah, keluarga, dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada peningkatan martabat guru dan kualitas pendidikan.*