Mas Imam Nawawi

- Artikel

Gelisah Perlu Tapi Tidak Bisa Jadi Penentu

Suatu waktu seorang senior berbincang denganku. Ia mengatakan, “Saya pernah itu melihat ada orang, gelisah akan kondisi keluarga bangsa Indonesia. Tapi ya, begitu. Dia gelisah tanpa melakukan sesuatu. Ya, bagaimana…,” katanya. Dari ungkapan itu saya punya kesimpulan, bahwa gelisah itu perlu, tapi tidak bisa jadi penentu. Terutama penentu perubahan. Memang benar bahwa untuk melangkah, bahkan […]

gelisah yang tidak melahirkan kesadaran bergerak, gairah untuk berbenah, ya, akan berhenti sebagai sebuah rasa galau semata

Suatu waktu seorang senior berbincang denganku. Ia mengatakan, “Saya pernah itu melihat ada orang, gelisah akan kondisi keluarga bangsa Indonesia. Tapi ya, begitu. Dia gelisah tanpa melakukan sesuatu. Ya, bagaimana…,” katanya. Dari ungkapan itu saya punya kesimpulan, bahwa gelisah itu perlu, tapi tidak bisa jadi penentu. Terutama penentu perubahan.

Memang benar bahwa untuk melangkah, bahkan berubah, seseorang kadang perlu berangkat dari rasa gelisah. Akan tetapi gelisah yang tidak melahirkan kesadaran bergerak, gairah untuk berbenah, ya, akan berhenti sebagai sebuah rasa galau semata.

Rasulullah SAW juga mengalami fase gelisah itu, yang membuat beliau bolak-balik dari rumah ke Gua Hira. Akan tetapi itu tidak terus-menerus. Tiba saat beliau menerima wahyu, langkah selanjutnya adalah bergerak, melangkah tanpa kenal lelah dalam dakwah.

Terlebih dalam banyak ayat Alquran, kata iman bergandengan dengan amal shaleh. Artinya gelisah itu idealnya menggerakkan iman, menguatkan amal shaleh. Bukan meratap, merengek, dan mengeluh kepada siapapun dan kapanpun.

Kalaupun merasa butuh berhenti sejenak, istirahat dari penat, maka hampar sajadah, rukuk dan sujudlah pada waktu manusia kebanyakan menikmati malam dengan terlelap.

Gerakan

Dalam kata yang lain kita butuh gelisah yang menghasilkan gerakan. Gelisahnya anak-anak muda di tahun 1945 menjadikan mereka terus bergerak, mewujudkan Indonesia merdeka. Jadi, gerakan sebenarnya adalah sistem penjelas dari sebuah kegelisahan (empati).

Jika ada kegelisahan yang tidak menghadirkan suatu gerakan, maka itu adalah angan-angan yang mengganggu pikiran. Kegelisahan yang sebenarnya adalah yang membuat orang sadar dan merasa perlu untuk berpikir, merencanakan, dan melakukan semua isi pikiran sesuai rencana dengan kemampuan terbaiknya.

Oleh karena itu, idealnya kegelisahan yang sering muncul dari ketidakpuasan atau keresahan terhadap kondisi sosial, dapat diubah menjadi kekuatan pendorong perubahan.

Nikah Barokah

Dalam sejarah Hidayatullah, KH. Abdullah Said adalah sosok yang gelisah akan kondisi umat yang banyak takut menikah tapi berani pacaran, bahkan kebablasan.

Beliau memeriksa, apa penyebab utamanya? Ternyata salah satunya adalah mahalnya mahar untuk menikah. Tambah biaya resepsi yang harus meriah dan megah. Semua itu menyebabkan banyak laki-laki tidak berani melamar, apalagi menikah.

Pelariannya jelas, ya, sembunyi-sembunyi di kegelapan, mereka pacaran.

Menjawab kegelisahan itu, KH. Abdullah Said membangun satu sistem budaya Islam yang segar dan kembali menginspirasi, yakni “Nikah Barokah”.

Tidak lama lagi di Gunung Tembak pernikahan seperti itu akan dilangsungkan. Sementara di Sulawesi Tenggara kegiatan itu telah sukses terlaksana beberapa waktu lalu.

Melangkah

Sampai di sini, kita sudah mulai memahami, bahwa kegelisahan itu harus mendorong diri kita melangkah.

Baca Juga: 3 Hal Penting untuk Masa Depan

Bersyukurlah kalau ada kegelisahan dalam diri, lebih-lebih kalau kerisauan itu terkait dengan memperbaiki diri dan keadaan masyarakat. Segera temukan solusi kecil, melangkahlah dengan temuan solusi itu.

Solusi Kecil

Seperti tumbuhan, langkah demi langkah solusi yang kecil dan sederhana itu akan menjadi akar dan batang yang kokoh, sehingga mampu menghasilkan buah yang bermanfaat bagi kehidupan.

Jadi, siapkan langkah setiap gelisah. Kalau gelisah tak menggerakkan, hati-hati itu bisa jadi hanya angan-angan. Masih mending angin-angin, bisa meniupkan kesegaran. Kalau angan-angan, itu bisa Anda jawab sendiri!*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *