Galabah (prihatin) dari dunia kampus mulai terang dan semakin meluas. Mereka murka dengan perilaku penguasa yang kian tidak demokratis.
Seperti berita yang ramai beredar, sejumlah Guru Besar dan akademisi dari sivitas akademika di Indonesia melayangkan desakan dan kritik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Gerakan itu diawali dari kampus almamater Jokowi sendiri, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Kemudian dilanjutkan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, merembet sampai di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Universitas Indonesia (UI) dan terbaru disebut dari Universitas Padjajaran Bandung.
Baca Juga: Catatan untuk Dunia Pendidikan
Ada juga Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia yang turut menyuarakan kerasahaannya terhadap tingkah Jokowi di akhir masa jabatannya itu.
Hakikat
Suasana hati yang galabah tentu tidak muncul dengan sendirinya. Tentu ada sebab yang melatari.
Seperti api yang membakar sebuah gedung atau mobil, tidak mungkin tanpa sebuah sebab.
Jadi suara lara dalam hati guru besar adalah respon dari “buruknya” perilaku orang yang seharusnya terdepan dalam keteladanan.
Mengingat Indonesia ini seperti bahtera besar yang tidak boleh tenggelam, maka suara-suara bengkuk dunia kampus itu adalah hal yang patut siapapun renungkan dengan mendalam.
Bukankah dahulu ada Suharto yang terjungkal karena panjangnya berkuasa dengan catatan arogansinya.
Bukankah sebelum itu pula Soekarno juga terlempar dari kekuasaan karena sikap dan manuver politiknya yang berlebihan.
Jadi, suara bertarak dari dunia kampus ini harus benar-benar bisa disikapi secara dewasa, bijaksana dan penuh tanggung jawab.
Sebagaimana saat tubuh seseorang ada yang luka, maka semua organ akan merespon dengan cara paling manjur untuk menjadikan tubuh siap bekerjasama menyembuhkan bagian tubuh yang luka. Hingga muncul demam, lelah dan sebagainya.
Terus Berlayar
Tentu suasana gundah para guru besar dari kampus bukan tanpa tujuan.
Tujuan paling penting adalah bagaimana bahtera bernama Indonesia ini tetap berlayar.
Agar bisa berlayar dengan baik, maka perbaikan harus dilakukan. Termasuk mengingatkan nahkoda, jangan ugal-ugalan menjalankan kemudi.
Lebih jauh, suara itu juga penting untuk menjadikan seluruh “penumpang” bahtera tahu dan sadar, bahwa kita tidak boleh tenggelam, apalagi karena ulah seorang nahkoda.
Dari suara dunia kampus itu kita berharap penguasa semakin insaf, bahwa mereka harus tunduk pada kebenaran. Jangan mati-matian mempertahankan kesalahan hanya karena punya kekuatan.
Baca Lagi: Berkaryalah Mulai Sekarang
Sebab, seterik-teriknya mentari, ia akan terbenam juga. Lalu apa alasannya manusia tidak mau mendengar dan mengindahkan peringatan?
Kalau pun hari ini punya kekuasaan dan kekuatan, ingat akan ada esok, yang mana akan ada orang lain mengganti kedudukan dalam kekuasaan yang telah membuatnya tuli secara nurani.*