Pada sebuah pagi, saya coba membuka internet. Satu yang ramai jadi ulasan orang adalah perihal Ferdinand Hutahaean yang akhirnya resmi masuk tahanan. Apa yang menyebabkan dia menjadi penghuni hotel prodeo?
Kompas.com mengabarkan bahwa Bareskrim Polri langsung melakukan penetapan tersangka dan penahanan terhadap mantan politisi Partai Demkorat itu, terkait kasus cuitan bermuatan SARA yang viral.
Masih dalam laporan Kompas, polisi melakukan penahanan usai menjalankan pemeriksaan selama sekitar 11 jam. Barulah kemudian menetapkan Ferdinand menjadi tersangka.
Terkait kasus ini, Ferdinand masuk jeratan dalam Pasal 45 (a) ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 tentang Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Subsider Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 KUHP.
Semua itu berawal dari cuitan dalam akun media sosialnya @FerdinandHaean3, Ferdinand mengunggah sebuah tulisan berkonten SARA yang tampaknya menyinggung pihak tertentu.
Baca Juga: Media Sosial yang Gaduh
“Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, mahasegalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela,” tulisnya.
Berawal dari tulisan itulah, respon berdatangan, hingga akhirnya Polisi pun harus turun tangan. Akibatnya Ferdinand harus menerima kenyataan pahit.
Sempat Menolak
Republika.co.id mengabarkan bahwa menurut keterangan dari kepolisian, Ferdinand Hutahaean sempat menolak untuk atas ketetapan sebagai tersangka. Ia pun melawan.
Masih menurut Republika, ada tiga alat bukti yang kuat atas kasus itu. Yakni 2 keping DVD, 1 tangkapan layar screen shoot, dan telepon genggam.
“Saudara FH ditetapkan tersangka,” kata Kepala Biro Penerangan dan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan.
Kemudian surat penetapan tersangka terbit pada pukul 21.30 WIB.
Pelajaran Hidup
Kasus Ferdinand ini penting jadi pelajaran hidup bagi segenap anak bangsa.
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf seperti jawapos.com laporkan mengatakan bahwa yang bersangkutan harus lebih banyak belajar agar semakin bijaksana dalam berucap dan bersikap, apalagi dalam ruang publik.
“Di luar dari proses hukum yang tetap perlu ditegakan, saya mengimbau agar yang bersangkutan di waktu mendatang dapat lebih banyak belajar sehingga bijaksana dalam berucap dan bersikap di ruang publik,” katanya.
Masih dalam lansir jawapos.com ia juga berpesan kepada masyarakat agar ini jadi pelajaran.
“Kejadian ini juga perlu menjadi pembelajaran bagi setiap pihak agar dapat menjauhi segala perilaku di ruang publik yang berisiko mengancam kerukunan umat beragama,” ungkapnya.
Baca Juga: Pentingnya Rem di Media Sosial
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum pada kasus bernuansa SARA yang melibatkan mantan Politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, seperti Sindonews.com kabarkan.
Proses hukum yang berlangsung semoga dapat mendudukan perkara ini seadil-adilnya, sehingga ke depan tidak terulang kembali.
Pelajaran
Sebagai bangsa Indonesia, kita mesti mendahulukan kepentingan bersama, kekuatan persaudaraan dan persatuan.
Ruang publik, utamanya media sosial cukup menjadi media silaturrahim untuk berbagi kebaikan, ilmu dan pengalaman untuk kemajuan bersaama seluruh anak bangsa. Atau menjadi ruang untuk menegakkan keadilan.
Orang yang mampu bersikap baik dalam interaksi media sosial adalah yang terus berupaya menata pikirannya. Tanpa itu, orang akan mudah terseret pada apa yang sedang viral. Ketika kontrol diri lemah, maka seseorang akan mudah menuliskan sesuatu secara emosional, bukan rasional.
Pada level ini, kita dapat belajar dengan sedalam-dalamnya, bahwa dunia maya, bukan dunia yang terpisah dari dunia nyata. Apa yang orang lakukan akan berpengaruh, langsung atau tidak langsung, cepat atau lambat.
Oleh karena itu, mari menjadi generasi yang sadar, bahwa ucapan kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Pastikan kita berbicara dengan baik, secara rasional dan penuh respek. Jangan pernah menulis, mengatakan sesuatu, yang kita sendiri tidak mengerti mengapa kita melakukannya.
Pepatah mengatakan, mulutmu harimaumu. Itu berarti jangan sampai apa yang kita ucapkan menjadi pembunuh bagi diri sendiri. Meski kita mudah mengingat pepatah itu, untuk menerapkannya kita butuh komitmen terus menerus. Prinsipnya berhenti melakukan apapun yang kita tidak tahu mengapa harus melakukannya.*