Bangsa Indonesia akan selalu optimis dengan masa depan, karena itu adalah bagian dari tabiat banyak suku bangsa di negeri ini. Tetapi, betapapun optimisme tak akan pernah padam, melakukan evaluasi adalah perkara penting, utamanya evaluasi arah pembangunan.
Sebuah masyarakat biasa akan terbentuk mentalnya sesuai kondisi di mana mereka tinggal. Orang yang biasa hidup di Jakarta jauh akan superior daripada yang hidup di kota lain, terutama kota yang baru tumbuh.
Sayangnya, superioritas itu tidak berdiri di atas landasan dan kecintaan pada negeri yang dominan, tetapi lebih karena fasilitas dan infrastruktur yang ada di kota itu sendiri.
Baca Juga: Problem Pembangunan Indonesia
Padahal, sebagai bangsa dengan Ketuhanan sebagai dasar kehidupan dan adab serta keadilan sebagai arah pembangunan, ukuran-ukuran fisik harusnya tidak menjadi ukuran, sekalipun itu tetap perlu sebagai indikator paling kasat mata adanya pembangunan.
Namun, kita juga harus sadar bahwa nyaris setiap saat tubuh bangsa ini terkoyak oleh gigitan ganas dan beracun beragam isu yang terus terjadi, mulai dari radikalisme, separatisme, termasuk di dalamnya ketidakadilan, korupsi, hingga pengkhianatan terhadap amanah-amanah kerakyatan.
Apabila ini terus terjadi, maka negeri ini hanya akan jadi hutan beton, pameran warna dan bangunan, sedangkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan, keteringgalan dan ketertindasan.
Tegakkan Keadilan
Sebuah ungkapan menyatakan, “Jika keadilan di sebuah negeri telah langka, maka bersiaplah untuk menyaksikan kehancuran negeri itu. Sebab, indikasi paling kuat negeri akan hancur berawal dari merajalelanya ketidakadilan dan kezaliman di negeri itu.
Jadi, setiap jiwa, individu, dan rakyat sekarang harus berusaha dengan kemampuan masing-masing bagaimana negeri ini tetap tegak dan menegakkan keadilan. Upaya ini seminimal apapun harus hadir.
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 117).
Oleh karena itu, berupayalah menegakkan keadilan dengan kemampuan yang dimiliki, terlebih yang memegang amanah. Jangan anggap ketidakadilan yang terjadi dan dibiarkan akan mendatangkan maslahat, itu kepandiran paling buruk dalam diri seorang insan berakal.
Upaya itu nantinya akan menjadi semacam pagar pelindung agar negeri ini masih bisa kita selamatkan secara bersama-sama.
Penting bagi kita merenungkan pesan Hamka dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam. “Alquran yang sangat suci isinya hanya akan menjadi bacaan mati jika sekiranya tidak ada pemerintahan yang menjalankannya.”
Artinya, idealisme, falsafah dan budaya yang baik di negeri ini alamat akan pudar dan punah, jika kemudian itu hanya jadi slogan namun jauh dalam kenyataan kehidupan. Dan, ketika umat Islam tidak mengambil peran menegakkan keadilan, maka itu sama dengan telah hilang kekuatan Alquran.
Teladan Nabi
Tak peduli seberapa pun bangsa ini melangkah dalam pembangunan jika ada kekeliruan, penting bagi kita balik kanan, evaluasi dan mulai kembali.
Dalam upaya membangun bangsa atau bahkan negara, Rasulullah Muhammad SAW juga memberikan keteladanan.
Pertama, fokus menempa sumber daya yang ada dengan nilai-nilai religiusitas, sehingga transaksi mereka dalam setiap aspek kehidupan disandarkan pada target mendapat ridha Allah Ta’ala.
Buya Hamka berkata dalam Keadilan Sosial dalam Islam, “Hal ini menjadi kesan bahwa pendirian masyarakat atau negara dimulai dari dalam, dari jiwa, dari dhamir yang bersih sehingga kesadaran bernegara bukan hanya dicat dan disemir dari luar, tetapi bermasyarakat dan bernegara timbul dari dalam.
Sifat-sifat dan kelemahan diri manusia, hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa bergelora dalam diri, dialirkan dan dikanalisasi dalam ajaran-ajaran suci untuk melahirkan masyarakat yang adil.”
Kedua, penyiapan sumber daya manusia pemimpin. Sekalipun Rasulullah SAW tak membagun fisik seperti Romawi dan Persia, tetapi Rasulullah diakui sebagai pemimpin terbaik sepanjang kehidupan manusia karena kemampuannya melahirkan SDM unggul alias leader.
Rasulullah SAW bukanlah orang yang otientasinya bagaimana membangun dinasti, tetapi bagaimana melahirkan pemimpin-pemimpin muda. Satu di antaranya adalah Usamah bin Zaid.
Baca Lagi: Membangun dengan Tidak Buru-Buru
Di usia 17 tahun ia telah menjadi panglima pasukan perang umat Islam yang memimpin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Jadi, Rasulullah SAW senantiasa memberi ruang dan kesempatan bagi para pemuda untuk mengembangkan bakat, potensi, serta kemampuan dalam memimpin.
Kalau kita lihat di Indonesia, orang mau jadi pemimpin seakan-akan syarat utamanya adalah harus tidak muda. Bahkan yang tidak muda itulah yang tak mau bergeser memberi ruang bagi pemuda untuk memimpin negeri.
Apa jadinya bangsa ini ke depan kalau mentalitas pemimpin masih seperti itu? Kemana sebenarnya arah pembangunan negeri ini?*