Setiap Kamis, saya mendapat “mainan” baru yakni sharing dengan mahasiswa smester II STIE Hidayatullah Depok. Untuk sesi pekan ini saya tanyakan kepada teman-teman dekat, apa yang relevan diulas. “Era Peradaban Baru, Bang,” tulis teman yang kusambut, “OK.”
Era Peradaban Baru adalah judul sebuah buku. Temanku mengusulkan ini tentu saja karena penulisnya yang inspiratif, yakni Ustadz Dr. Abdul Mannan.
Saya pun menyambar buku yang selama ini bertengger rapi di rak buku. Kubaca perlahan dari muqaddimah hingga tuntas Bab I.
Di sana kutemukan satu kritik yang terang dan tegas terhadap pemikiran para tokoh Barat yang memandang peradaban terlampau materialis (sebatas ruang dan waktu).
Baca Juga: Pastikan Arah Hidup
Terhadap Samuel Huntington, Ustadz Dr Abdul Mannan menuliskan seperti ini.
“Pendapat Samuel Hutington bahwa peradaban adalah “entitas kultural” juga tidak dapat mencakup seluruh fakta peradaban. Islam jelas merupakan sebuah peradaban, tapi apakah Islam hadir dari suatu hal yang sifatnya kultural? Faktanya, adalah Islam jelas merupakan entitas relijius yang mengkreasi kultur, bukan entitas kulturla yang menciptakan budaya relijius. Budaya yang sama mungkin juga dapat diterapkan pada peradaban Yahudi dan Kristen Barat maupun Kristen Orthodox.” (Era Peradaban Baru, halaman: 8).
Langkah mengkoreksi pemikiran tokoh Barat ini terbilang penting, karena disadari atau tidak sebagian cara pandang orang Indonesia beraroma pandangan hidup Barat, sehingga cenderung, apa yang dikatakan tokoh intelektual Barat sebagai makanan yang bisa langsung disantap tanpa dikunyah.
Islam sebagai peradaban tidak berasal dari apapun yang merupakan hasil kerja manusia. Islam turun sebagai ajaran sekaligus peradaban justru ditentang oleh masyarakat Quraisy kala itu. Dengan demikian Islam sebagai peradbaan memang bimbingan Tuhan.
Atas pengertian itu, maka sudah semestinya peradaban tidak didefinisikan pada acuan ruang dan waktu semata. Tetapi lebih pada sisi yang paling mendasar, yakni ajaran yang diterima dan menjelma dalam keyakinan lalu manives di dalam seluruh aspek kehidupan.
Peradaban
Oleh karena itu di Hidayatullah, peradbaan Islam didefinisikan sebagai manivestasi keimanan di dalam seluruh aspek kehidupan.
Bahasa Ustadz Dr Abdul Mannan di dalam beberapa kesempatan, “Peradaban itu luas, dari memungut sampah sampai memimpin negara.”
Sayangnya esensi Islam sebagai peradaban belum begitu banyak disadari oleh sebagian besar umat Islam. Akibatnya, Islam tampak seakan-akan hanya ritual. Padahal dari ajaran Islam inilah lahir saintis-saintis Muslim yang luar biasa.
Semua itu menunjukkan bahwa keyakinan dalam ibadah idealnya mendorong antusiasme umat Islam itu terhadap ilmu, amal sholeh (karya) dan inovasi-inovasi keilmuan yang dapat menjawab kebutuhan hidup manusia dengan berprinsip pada maslahat, bukan eksploitasi yang destruktif terhadap alam.
Jadi Islam itu agama sekaligus peradaban (Islam is both a religion and a civilization). Yang itu berarti kalau umat Islam memahami Islam sebagai agama sekaligus peradaban, tidak mungkin umat Islam akan tertinggal dan jadi ‘mainan’ kepentingan umat lainnya di dunia ini.
Solusi
Memahami Islam sebagai peradaban adalah solusi bangkit dari keterpurukan umat Islam. Terlebih kala merujuk makna peradaban menurut Syaikh Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya Al-Sunnah Masdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah.
“(Peradaban artinya) Sekumpulan bentuk-bentuk kemajuan, baik yang berbentuk kemajuan materi, ilmu pengetahuan, seni, sasra, ataupun sosial, yang ada dalam satu masyarakat atau pada masyarakat yang serupa.”
Artinya memahami Islam sebagai peradaban mau tidak mau mendorong kita untuk melakukan ekspansi, inovasi, dan improvisasi agar tercapai kemajuan dalam segala sisi kehidupan.
Baca Juga: Bukalah Buku Peroleh Ilmu!
Oleh karena itu, Ustadz Dr Abdul Mannan memahami dan menyatakan bahwa upayanya menugaskan para sarjana STIE Hidayatullah Depok tugas ke berbagai daerah setelah menuntaskan masa studi sebagai para penegak peradaban baru.
“…namun karena saya diliputi kebahagiaan sebab langkah kecil dan terbatass dari para santri sarjana ini ditujukan untuk menegakkan kembali ‘peraaban baru’ yang didasarkan pada perintah ‘membaca dengan nama Tuhan.” (Era Peradaban Baru, Muqaddimah).
Jadi, tugas berat umat Islam, utamanya kaum muda adalah bagaimana memanivestasikan keyakinannya, tidak hanya dalam skala ritual, tetapi juga intelektual dan kesadaran spiritual secara lebih luas. Sungguh dunia sekarang menjerit dan dibakar rindu, kapan peradaban Islam kembali hadir menyinari bumi ini.*
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah