Shubuh masih menaburkan hawa sejuknya. Saya yang sudah menuntaskan tugas utama, segera membantu istri menghafal Quran. Setelahnya langsung menyambar gadget dan seperti biasa, membaca koran dalam bentuk digital.
Pada halaman pertama Kompas (9/2), terlihat pada sebuah foto bagaimana ibu kota Jakarta dilanda banjir. Judulnya Sungai Ciliwung Meluap. Pada keterangan foto ditulis, “Berdasarkan data petabencana.id, ada 27 lokasi banjir di Jakarta.”
Saya pun berpindah ke halaman 11, judul masih terkait banjir. Bunyinya, “Banjir Berulang di Pantura.” Disebutkan banjir di Semarang butuh penanganan komprehensif. Penyebabnya jelas untuk Semarang, di antaranya terjadinya penurunan muka tanah. Dan, setiap kali banjir aktivitas warga menjadi lumpuh.
Baca Juga: Pemimpin Berkualitas Spiritual
Laporan Republika juga sama, di halaman pertama ditampilkan foto yang menggambarkan bagaimana kondisi jalan di Jatinegara Barat digenangi banjir.
Dan, berbicara Ciliwung, saat saya siang hari (8/2) menyeberangi jembatan gantung menuju ke Citayam, Depok, debit air sangat tinggi dengan arus yang amat deras. Cukup menyeramkan, bagi saya. Sayang tak sempat saya mengabadikan momentum itu.
Jujur Berpikir
Seringkali kita mengaku dan merasa bangga bahwa ini adalah era digital, dimana banyak pengetahuan berhasil ditampilkan oleh umat manusia. Tetapi, fakta banjir ini, kalau mau direnungi kita sudah ditantang untuk jujur berpikir.
Mengapa fakta kejadian berupa banjir yang terjadi di era Nabi Nuh Alayhissalam, masih kerap menyapa negeri ini?
Apakah ilmu manusianya yang kurang?
Apakah modernisasinya yang sebenarnya memang tidak bisa dijadikan sandaran kemaslahatan hidup?
Atau, ini sebuah bukti, bahwa manusia butuh Alquran dan karena itu perlu menata hidupnya dengan nilai-nilai mukjizat akhir zaman ini?
Masih banyak pertanyaan lain yang lebih kritis dan mendalam bisa diajukan. Tapi mari jujur berpikir, apa sebenarnya yang menjadikan banjir terus terjadi di negeri ini?
Sebab Banjir dalam Analisa Rasio
Menurut wri-indonesia.org banjir terjadi karena tiga sebab.
Pertama, kurangnya tutupan pohon. Tulisnya, “Tutupan pohon berperan sangat penting (sekali lagi sangat penting) dalam menjaga keseimbangan hidrologis suatu DAS. Dengan terjaganya tutupan pohon, tanah mampu terus meresap air.”
Artinya, semakin pohon jarang, semakin potensial keseimbangan hidrologis lingkungan terganggu. Dan, itu berarti air hujan yang turun akan sulit meresap ke dalam tanah.
Kedua, cuaca ekstrem. Curah hujan yang tinggi (umumnya melebihi 100 mm per hari)yang berlangsung dalam waktu lama, kerap kali sangat mendukung terjadinya banjir di Indonesia.
Ketiga, kondisi topografis. Menurutnya, “Bencana banjir juga banyak dipengaruhi oleh kondisi topografis wilayah atau kemiringan lereng. Sebagai contoh di Kabupaten Jayapura, curamnya lereng di pegunungan Cyclop yang didominiasi oleh kemiringan lereng sangat curam (>40$) berkontribusi besar pada terjadinya banjir bandang di wilayah ini.”
Manusia Gak Kontribusi Sama Sekali?
Sekarang, mengapa tutupan pohon itu terus berkurang, ini siapa yang berani jujur menjawab?
Cerita banyak orang, sebagian besar wilayah Jakarta dahulu hijau dan rindang. Namun, karena demi pembangunan, kini semua rindang dengan gedung bertingkat yang begitu banyak. Sampai ada istilah Jakarta adalah hutan beton Tanah Air.
Kalimantan Selatan dilanda banjir besar diduga karena proyek penambangan yang menjadikan banyak pohon harus dimusnahkan. Mengapa ini tidak segera disadari dan kemudian dibuat sebuah regulasi yang memadai agar pembangunan tetap memperhatikan alam?
Soal curah hujan, memang banjir selalu terjadi di musim hujan. Dan, hal itu menjadikan banyak media melansir laporan banjir dengan judul yang “menyudutkan” hujan sebagai sebab utama.
Baca Juga: Moral yang Tertinggal dan Ditinggal
Tetapi, benarkah hujan itu sebab utama? Kalau manusia berhasil menjaga tutupan pohon, bukankah teori air akan terserap ke dalam tanah dapat berfungsi dengan baik Dan, mungkinkah manusia dapat hidup tanpa hujan?
Kemudian soal topografi, ini memang sebuah fakta yang kita tidak bisa ubah, melainkan dengan respon yang tepat agar bagaiamana di bawah lereng dapat disiapkan pengkondisian yang membuat air dapat tersalurkan dengan baik.
Kesimpulan
Pada akhirnya kita harus menerima fakta bahwa dunia memang tempat manusia diuji. Banjir adalah satu dari beragam ujian yang Allah berikan kepada umat manusia.
Jika tidak, mestinya seiring kemajuan ilmu manusia semakin terbebas dari banjir. Faktanya? Manusia, sebagian besar semakin modern menjadi semakin pragmatis dan biadab.
Kemudian, banjir adalah kehendak Allah. “Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak.” (QS al-Qamar: 11-13).
Banjir juga Allah timpakan kepada umat manusia yang ingkar kepada-Nya.
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu: dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya!’ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar. Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17).
Pada akhirnya, banjir sebenarnya adalah cambuk untuk kita mawas diri. Jangan asal membangun, jangan asal mendahulukan satu keuntungan lantas mengabaikan sederet kerugian yang akan datang.
Rawat bumi sekuat tenaga. Lalu, berdoa kepada Allah agar hujan yang turun adalah hujan yang membawa manfaat. Dan, untuk bisa melakukan itu, kita butuh iman yang mendalam dan akhlak yang mulia. Allahu a’lam.*
Mas Imam Nawawi _ Perenung Kejadian
Bogor, 27 Jumadil Akhir 1442 H