Pertanyaan, “enak jadi pejabat atau rakyat” menarik kita jawab. Tentu saja dengan tanggapan penuh ketulusan.
Saya kira sebagian orang akan riang kalau bisa menjadi pejabat. Apalagi belakangan, hidup serba terjamin, anak bisa ongkang-ongkang dan masa depan terjamin.
Baca Juga: Rakyat yang Tercekik
Kemana-mana terlayani. Kalau datang air putih, dirinya tidak menghendakinya, tinggal mendehem. Eheem…Eheem…
Asisten akan mengubah menjadi minuman favorit yang jadi adatnya. Lekas, kilat.
Derita Rakyat
Sementara kalau mau jadi rakyat (dan kebanyakan kita memang rakyat) itu tidak bebas.
Ada sekian banyak aturan. Bahkan menjadi penulis pun, kalau bukunya best seller, pajak akan terus mengejar.
Padahal satu buku memerlukan proses tidak biasa.
Harus riset, membaca banyak referensi. Kemudian melakukan perbandingan. Mencari selling point dari karyanya agar penerbit mau menerima.
Boleh jadi semua itu memerlukan waktu 6 hingga 9 bulan. Itu kalau merujuk keterangan dari Kang Maman.
Begitu penerbit menerima dan buku terpajang di toko-toko, pajak sudah siap membelandang.
Membayangkannya agak ngeri, semua seakan harus kena palak, eh, pajak. Termasuk penulis yang sejatinya ikut berperan “menata” cara berpikir bangsa ini.
Buruh
Buruh, apa lagi. UU Cipta Kerja menjadi “musuh” baru. Kabarnya mahasiswa UI sedang siap-siap melakukan demonstrasi menolak UU yang keluar dengan proses superkilat itu.
Anggota DPR kita, sebagian memang sangat cerdas. Semua yang terkait kesejahteraan rakyat, harus cepat. Begitu kata-kata yang sangat indah selalu mereka sampaikan. Apalagi pas masa kampanye.
Tapi pemerintah melalui Kemenaker mengatakan buruh tidak perlu riuh.
Tenang ya, buruh. Uang pesangon masih ada, tidak hilang seperti rumor yang beredar.
Kalau ada PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang besarannya sesuai alasan PHK.
Pertanyaannya, kasus pelanggaran hukum yang terang masuk ruang publik saja bisa lenyap begitu saja.
Bagaimana dengan soal buruh kena PHK, siapa yang absen, bisakah negara menjamin. Jangan sampai buruh mengadu, buruh jadi tersangka.
Bukankah orang miskin, tidak bisa sekolah dan nir skill tetap ada saja. Dan, itu belum terurus seluruhnya oleh pemerintah atau negara?
Negara Mimpi
Idealnya pemerintah itu tidak begitu cara memperlakukan rakyatnya, meskipun buruh.
Berikan mereka kesejahteraan. Bukankah negeri ini kaya. Kalau negara miskin lain lagi.
Faktanya sebagian dari pejabat suka pamer kemewahan, termasuk istri dan anak-anaknya.
Baca Lagi: Yang Membahagiakan
Belum lagi uang yang katanya transaksi janggal, itu angkanya sebesar potensi zakat Indonesia, Rp. 300 triliunan.
Kalau angka itu kita bagikan kepada 26,36 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, lumayan, soal kemiskinan akan tertolong.
Tetapi, membayangkan hal itu seperti kita berada dalam negeri mimpi. Jauh……….. dari kenyataan.
Untung kita punya pesan iman, jangan pernah putus asa. Kita harus melihat realitas sekarang dengan cara pandang iman.
Sebab boleh jadi, mereka yang katanya memperoleh banyak nikmat dengan jadi pejabat lalu bermaksiat dengan jadi pengkhianat, sebenarnya mereka sedang mengorbankan diri untuk kebahagiaan yang abadi.
Tetapi seperti orang yang sedang tidur dan terbuai mimpi, mereka mengira dunia ini adalah tempat hidup selama-lamanya.
Dengan demikian, jadi rakyat atau pejabat itu bukan perkara utama. Sadar dunia ini sementara dan akhirat selama-lamanya, itulah yang paling agung.*