Sore ini (24/9), Alhamdulillah, bisa kembali sharing dengan teman-teman Pemuda Hidayatullah Kepulauan Riau. Di senja yang sinar mentarinya keemasan itu kami diskusi tentang manusia.
Diskusi yang sebenarnya tidak ringan ini kita lakukan dengan cara yang ringan dan bahkan bisa tertawa bersama.
Baca Juga: Semua Agama Sama?
Dalam sejarah Peradaban Barat secara umum, manusia dipandang sebagai hewan berbicara yang kala rasionalitas bekerja, maka agama (baca Gereja di abad kegelapan Barat) tidak lagi diperlukan.
Oleh karena itu diskusi kala itu berubah ekstrim dari teosentris menjadi antroposentris, dimana manusia adalah pusat segala-galanya, hingga lahirlah konsep sekulerisme, liberalisme dan materialisme.
Manusia dalam Islam
Tetapi, kala Barat sedang sibuk menempatkan manusia dengan Tuhan, Islam sejak awal telah tegas meletakkan manusia di hadapan Tuhan.
Dalam Alquran dijelaskan manusia itu tugasnya dua. Pertama sebagai hamba Allah. Kedua sebagai khalifah Allah.
Dari sini jelas, manusia tidak cukup didefinisikan hanya dari apa yang dapat diverifikasi oleh akal dan indera, tetapi lebih jauh substansi manusia yang tidak semata jasad, tetapi juga ruh.
Oleh karena itu, Islam mendorong umat manusia untuk memperbanyak interaksi dengan Alquran kemudian mengaktifkan akal pikiran dan hatinya dengan Iqra’ Bismirabbik.
Sayangnya, umat Islam belum banyak menyadari hal mendasar ini, sehingga literasinya belum bisa dibanggakan dan kultur dalam kehidupannya pun belum mampu menampilkan Islam dengan baik.
Umat Islam masih mudah emosi, diadu domba dan diprovokasi. Satu sama lain masih sulit bertemu apalagi bersatu. Dan, bisa jadi, karena secara substansi pemahaman tentang manusia tidak lagi dihadirkan sebagaimana penjelasan Tuhan.
Mengisi Kehidupan
Dengan tugas sebagai hamba Allah dan khalifah Allah Ta’ala, Allah telah menetapkan dunia dengan batasan waktu. Dimana manusia pasti akan bertemu dengan ajal, kematian.
Artinya, ukuran manusia dapat diukur pada kepatuhan dan produktivitas yang dihasilkan dari landasan iman yang ada di dalam dadanya.
Jika dalam keseharian seorang manusia yang beriman banyak ibadah dan amal sholeh dan hadirkan manfaat dan maslahat, maka sekalipun di dunia sementara saja, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Di akhirat ia akan mendapati pahala dan surga. Satu keyakinan yang kala diraba dengan kemampuan akal dan indera, sudahlah pasti akan sulit mendapatkan bukti.
Tetapi dengan keimanan, semua itu adalah kepastian yang tak dapat diragukan.
Baca Lagi: Menguatkan Daya Baca
Jadi, hal penting dan mendasar yang harus disadari oleh kaum Muslimin ialah memahami kembali, menyegarkan kembali kesadaran akan amanah kehidupan di dunia ini sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.
Hanya dengan cara itu kita tidak akan terjebak pada pandangan Adam Smith yang mengatakan manusia harus serakah karena sumber daya alam terbatas, kebutuhan manusia tidak terbatas.*