Shubuh belum begitu jauh berlalu. Saya yang baru saja pulang dari mushola tercengang dengan diskusi WA Grup yang disana ada Ustadz Fauzil. Pelan kubaca, benar, kesadaranku disentil oleh Ustadz Fauzil.
Sentilan ini penting bagi saya dan semua sahabat di negeri ini. Sebab bukan tentang diri sendiri, bukan tentang masa lalu. Tetapi masa kini yang juga telah terjadi di masa lalu dan tampaknya (selalu) terulang.
Hal itu ialah perihal tidak samanya arah perjuangan antara sang ayah dengan putra-putrinya atau leluhur dengan keturunannya.
Baca Juga: Perencanaan Keuangan Keluarga
Dikisahkan bahwa di negeri ini ada sosok yang amat cinta dengan ilmu hingga sampai mendapatkan sanad dan memiliki begitu banyak murid.
Nama dari anak-anaknya pun dipilihkan nama-nama orang besar dalam Islam, seperti nama pendiri kejayaan Islam di Cordoba dan penakluk Baytul Maqdis. Namun, pada akhirnya, keturunannya jauh menyimpang dari spirit sosok yang amat luar biasa itu.
Ustadz Fauzil Adhim pun memberikan penekanan dalam bentuk kalimat interogatif agar kita banyak mendapatkan pelajaran.
“Apa yang dapat kita ambil sebagai pelajaran? Bahkan yang lelhurunya setiap hari senantiasa membaca kitab – bukan medsos – dan mengajarkannya sekaligus memperjuangkannya, bisa lahir keturunan yang sangat berbeda. Tetapi apa pintunya?”
Ibulah Gerbang Utama
Dua menit berselang dari postingan Ustadz Fauzil saya pun merespon. “Menarik, Ustadz, ingin sekali tahu,” tulisku.
“Maka sedih sekali saya ketika melihat emak-emak lebih bersemangat belajar tentang otak anak, itu pun bukan dari ahli tentang otak, melainkan dari sejumlah sosok yang belajar berbicara tentang otak. Bukan mendalami secara sangat matang tentang otak melalui proses akademis yang tertib dan teratur bertahun-tahun.
Alangkah banyak yang asyik sekali berbicara tentang otak, tetapi lupa menggunakan otaknya untuk berpikir lurus,” urai beliau.
Saya mulai menangkap, wah dari pintu ibu tampaknya awal kebengkokan terjadi hingga akhirnya penyimpangan jauh tak bisa dihindari.
Tak lama berselang, beliau mengirimkan lanjutan tulisan sambungannya.
“Maka akhirnya banyak emak-emak yang seharusnya lebih fasih berbicara mengenai perjuangan, tetapi justru sibuk berbicara tentang berpikir positif; salah satu perusak iman yang sangat serius.
Sedemikian lantang berbicara tentang berpikir positif, sampai lupa perbedaan antara tindakan yang positif dengan kalimat negatif.
Sampai-sampai ada yang alergi dengan kata tidak, lupa bahwa untuk masuk surga harus dengan kata tidak.
Anehnya, ketika merebak pandemic Corona, banyak yang berdo’a agar negatif. Justru sedih ketika tahu positif Corona. Padahal itu positif.
“Suami saya poligami” itu kalimat positif. “Alhamdulillah, suami saya menyempurnakan poligaminya agar genap empat”, itu lebih positif lagi.
Yang termasuk kalimat negatif adalah “suami saya tidak poligami” karena ada kata tidak di sana. Anehnya, emak-emak penentang kalimat negatif justru banyak sewot dengan kalimat positif. Padahal itu bagian dari syari’at.”
Luar biasa, cara berpikir kaum ibu sudah mulai banyak yang terganggu dan tanpa sadar kian jauh dari esensi bagaimana melahirkan anak-anak yang siap hidup dengan mental tangguh dan mental juang.
Jadi teringat ibu-ibu yang suka mengeluh baik di darat maupun di udara (dunia maya). Kemudian tidak ada yang diajarkan kepada anaknya selain daripada bagaimana hidup enak.
Sinergi Suami Istri
Menyimak tulisan itu, seorang senior saya menimpali, “Nyimak, bagaimana bikin zoom confefence bahas ini Daeng,” disertai emoticon senyum.
“Fenomena anak biologis yang menimpang tidak menjadi anak ideologis. Saya juga menjumpai fakta ini yang menjangkiti aktivis dakwah kekinian. Dimana ada anaknya yang “nyempal” dari aktivitas orang tuanya. Monggo…. nggelar tiker, nryuput kopi,” tulisnya menguraikan.
Menarik, Ustadz Fauzil langsung memberikan respon menusuk.
“Saya tidak mau, Mas kecuali kalau sekaligus bersama ibu-ibu atau istri. Karena jika menelusuri sejarah, melencengkan keturunan para pejuang itu pintunya adalah emak-emak mereka. Kalau berbicara hanya dengan bapak-bapak, istrinya sendiri saja belum tentu kenal. Tetapi kalau sekaligus bersama emak-emak, mereka akan peka dengan mengenali emak-emak lainnya.”
Tidak berhenti di situ, Ustadz Fauzil semakin mendalam dengan menyebtukan ‘kesukaan’ emak-emak belakangan.
“Yang memilukan itu kalau emak-emak aktivis dakwah kok berbicara inner child. Lebih memilukan lagi kalau yang berbicara tentang inner child itu justru emak-emak yang “ngaji” dan pernah kuliah psikologi,” tulisnya.
Tak sampai disitu, beliau memberikan komentar ringan yang mendalam. “Jangan-jangan sedang tidur saat kuliah “Sejarah Perkembangan Psikologi”.”
Saya pun buka google, inner child ternyata istilah ilmu psikologi yang populer pada tahun 1970-an.
Baca Juga: Masa Muda Harus Berprestasi
Di situ diulas bagian dalam diri seseorang yang merupakan hasil pengalaman masa kecilnya. Inner child merupakan salah satu bagian alam bawah sadar manusia yang kala membentuk tingkah laku, emosi dan hubungan sosial.
Bentuk Sinergi
Kembali pada tema sinergi suami istri di sini mendidik anak memang tak bisa seutuhnya diserahkan kepada istri di rumah.
Seorang ayah harus mengevaluasi, memperbaiki dan mengembangkan bahkan mendidik sang istri untuk bisa menanamkan nilai-nilai perjuangan pada jiwa anak-anaknya.
Langkah ini mau tidak mau harus dilakukan. Meski dalam praktiknya tidak mesti berarti suami harus terus di rumah sebagaimana istri. Atau istri keluar biar suami yang menjaga anak-anaknya.
Tapi sinergi dalam makna yang lebih substansial yang memungkinkan baiknya penananaman nilai-nilai kejuangan pada diri anak-anak.
Pada akhirnya ini adalah sebuah sentilan yang penting. Karena Alquran pun memberikan pelajaran bahwa ada kisah dimana istri dan anak seorang Nabi berbeda haluan dalam hidup ini. Hidup memang perjuangan.
Bahkan mendidik anak-anak pun sejatinya adalah perjuangan sejati yang kini mulai banyak tak disadari.*/Mas Imam Nawawi_Perenung Kejadian