Entah mulai kapan, pemimpin dipandang ada pada diri orang yang punya jabatan. Padahal Nabi Muhammad SAW telah menegaskan, setiap jiwa adalah pemimpin. Jadi diri kita, dirimu dan diri semua orang adalah pemimpin.
Oleh karena itu di dalam Islam setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban, sebab dirinya adalah pemimpin.
Lantas apa yang harus dilakukan agar hakikat diri sebagai pemimpin dapat tegak lurus dalam kehidupan sehari-hari?
Pertama, menyadari bahwa kehidupan diri ini adalah amanah. Ketika seseorang memikul amanah, maka dirinya adalah pemimpin. Maka tidak pantas bagi diri seseorang hidup asal-asalan, galau terus isinya atau justru tidak mengerti mana haq dan bathil.
Kedua, memanfaatkan waktu seproduktif mungkin untuk kemanfaatan dan kemaslahatan.
Baca Juga: Andai Umar Memimpin Indonesia
Dalam hal ini kita bisa membaca biografi para ulama dan pemimpin besar dalam Islam. Katakanlah seperti Usman pendiri Daulah Utsmani di Turki, selain ahli dalam perang ia seorang yang sangat gemar menuntut ilmu.
Ketiga, mampu memilih pergaulan yang benar, tepat dan relevan. Artinya sadar dirinya pemimpin maka ia harus mencari teman yang dapat mempertajam karakter dirinya sebagai pemimpin. Bukan yang malah tidak bisa tanggung jawab, bahkan terhadap waktu.
Urgensi Pemimpin
Sekarang kita penting bertanya, apakah pemimpin itu urgen, penting dan strategis.
Belanda pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun.. Apakah ketika penjajahan itu terjadi karena jumlah orang Indonesia lebih rendah daripada jumlah tentara Belanda yang ada di Indonesia?
Dalam dunia Islam hari ini misalnya, apakah umat Islam kalah jumlah dari mereka yang memandang kehidupan ini hanya sebatas dunia?
Jawabannya jelas sama tidak. Tetapi mengapa umat Islam belum memimpin peradaban dunia?
Kembali, jawabannya karena belum adanya pemimpin umat. Tidak adanya seorang leader berarti ketidakteraturan sedang terjadi.
Padahal dalam dunia ini tidak ada jaminan yang banyak akan menang. Demikian pula sebaliknya yang sedikit pasti kalah.
Sayyidina Ali mengatakan, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir.”
Kalau melihat sejarah di dalam Alquran, para Nabi dan Rasul biasa risau, gelisah perihal siapa yang akan menjadi pemimpin masa depan untuk dakwah.
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyatakan bahwa hadirnya seorang pemimpin yang diangkat berdasarkan ilmu dan iman adalah wajib berdasarkan akal sehat.
Itu berarti bahwa, keberhasilan, kemenangan dan kecemerlangan akan tercapai dengan baik, manakala pemimpin yang unggul telah hadir dan memimpin.
Jika kesadaran ini muncul dalam diri setiap orang, maka mereka akan menjadi orang yang bertanggung jawab, terampil dan tentu saja memberi warna kebaikan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi ini memang butuh kesabaran, keteguhan dan konsistensi.
Bagaimana Memulai?
Pertanyaan bagaimana memulai ini sangat penting agar kita tidak larut dalam alasan-alasan dan ketidaktahuan. Memulainya sederhana, belajar saja kepada para pemimpin penerus Nabi Muhammad SAW.
Mulai dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, semua adalah sosok yang sangat cinta kepada Nabi. Mengapa? Karena pada diri Nabi ada keteladanan, ilmu dan tentu saja pencerahan langsung.
Pemimpin-pemimpin besar setelah itu juga orang yang cinta ulama, karena mereka menganggap ilmu itu penting.
Sekarang kita bisa lakukan itu dengan cara yang amat simple. Bukalah di youtube kajian banyak Ustadz dan ulama yang kita sukai.
Tema-tema tauhid lengkap dengan logika ilmiahnya ada pada kajian-kajian Gus Baha. Ingin kajian bagaimana Nabi dalam 24 jam, ada Ustadz Budi Ashari.
Mau kajian betapa pentingnya pemikiran bagi umat Islam agar tidak terpedaya logika dan peradaban Barat, ada Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Artinya, sarana itu ada dan mudah.
Semua itu adalah langkah minimal untuk memulai. Jika mau lebih baik, maka harus terus belajar, mengamati dan memperhatikan sembari menempa diri dalam beragam ranah dan lapangan.
Baca Lagi: Berjalan Saja Ada Aturannya Apalagi Memimpin
Mulai dari di sekolah lewat kelas dan OSIS sampai organisasi mahasiswa dan kepemudaan di tingkat yang lebih tinggi, sehingga ada pengalaman dan kebijaksanaan.
Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, untuk bisa menjadi pemimpin bahkan punya kapasitas memilih dan menetapkan pemimpin adalah orang yang adil, berilmu dan memiliki wawasan serta kebijaksanaan.*