Home Opini Dilema Presiden Antara Pertahankan atau Kurangi Subsidi Energi

Dilema Presiden Antara Pertahankan atau Kurangi Subsidi Energi

by Imam Nawawi

Harian Umum Republika (13/8/22) menurunkan laporan tentang pendapat Presiden, dengan judul “Presiden: Subsidi Energi Terlalu Besar.” Tampak seakan presiden sedang menghadapi dilema, pertahankan atau kurangi subsidi energi.

Anggaran subsidi energi tahun 2022 mencapai angka Rp. 502 triliun. Menurut presiden angka itu sangat membebani anggaran negara.

Dan, pemerintah belum tentu mampu menanggung beban tersebut, apalagi dalam jangka waktu yang lama.

Baca Lagi: Banyak Heboh Mudah Terkecoh

Hal itu menunjukkan bahwa subsidi energi rasional kalau segera dilakukan pengurangan. Tujuannya jelas agar APBN tidak terbebani terlalu besar.

Namun, siapa yang akan menanggung akibat, kalau misalnya subsidi energi itu berkurang atau bahkan hilang?

Negara Mana Lagi

Masih dalam laporan Republika, bahwa tidak ada negara lain yang menggelontorkan anggaran subsidi sebesar Indonesia.

“Angka subsidi kita untuk energi terlalu besar, cari negara yang subsidinya sampai Rp. 502 triliun. Ini karena kita harus menahan harga Pertalite, gas, listrik, termasuk Pertamax, gede sekali,” kata Jokowi.

Meski demikian masih ada sedikit asa dari presiden.

“Tapi, kalau bisa (mempertahankan), ya alhamdulillah, artinya rakyat tidak terbebani. Tapi, kalau memang APBN tidak kuat, bagaimana?” ujar Jokowi.

Hal itu menunjukkan bahwa presiden sadar, soal subsidi energi ini dilema. Segera cabut, berarti berhadapan dengan kondisi rakyat yang akan terbebani. Terlebih ekonomi masyarakat belum seutuhnya pulih.

Bahkan dalam beberapa kesempatan saat hendak mengisi bensin di SPBU, tertulis pengumuman dalam tulisan, “Pertalite dalam Perjalanan.”

Keberpihakan

Namun, apapun yang terjadi sebenarnya adalah tantangan kepemimpinan sang presiden itu sendiri bersama pejabat lembaga tinggi negara lainnya.

Jika hanya berhenti pada fakta pasar lalu mengambil tindakan hanya berdasar satu sisi, maka itu tidak terlalu membutuhkan yang namanya leadership.

Posisi pemimpin memang harus mampu membuktikan keberpihakannya kepada rakyat. Bukan kemudian karena alasan empiris dan logis semata, rakyat harus siap menanggung keadaan. Sri Lanka sudah mengalami itu.

Kalau kita perhatikan, Amerika, Cina, Malaysia dan Singapura berhasil karena adanya keberpihakan pemimpin kepada rakyat. Bangsa itu punya pemimpin berkarakter sehingga ada keberpihakan yang kuat untuk melindungi rakyat.

Waktu telah memberi kesempatan kepada Presiden Jokowi untuk menahkodai jalan dan arah bangsa Indonesia.

Jika Jokowi seutuhnya sadar dirinya adalah pilihan rakyat, amat kecil kemungkinan Presiden Jokowi memilih keputusan yang membebani rakyat.

Baca Lagi: Apakah Ide Elit Selalu Benar?

Lebih baik presiden ambil pilihan mengerahkan seluruh kekuatan kabinet, untuk bekerja maksimal bagaimana mengatasi hal ini. Meski pilihan ini juga butuh perhitungan politik yang tidak sederhana.

Satu hal yang penting jadi catatan siapapun, terutama presiden, pemerintah dan rakyat adalah satu tubuh. Melukai satu sisi, sama dengan membuat semua sisi terguncang.

Kita semua tentu berharap, negara ini benar-benar dapat melindungi dan memuliakan rakyatnya sendiri. Jika harapan ini dimengerti dengan baik, maka insha Allah dilema presiden bisa berakhir dengan keputusan yang jelas dan tegas.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment