Menjelang istirahat malam saya menyempatkan membaca buku karya Dr Tiar Anwar Bachtiar berjudul “Politik Islam di Indonesia.” Saya menemukan satu problem yang mungkin kita tahu bersama, yakni dilema politisi muslim.
Antara menjadi politisi muslim sejati atau penuh kompromi dengan sistem yang sudah pincang sejak reformasi bergulir.
Baca Juga: Politik Progresif Beradab
Kata Dr Tiar, reformasi telah mengubah sistem politik dan politisi muslim itu sendiri. Politik menjadi sangat butuh terhadap biaya tinggi.
“Mereka yang tidak bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasi jangan terlalu bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Ada satu dua yang memiliki modal sosial tinggi, tanpa modal uang banyak, dapat masuk dalam jejaring kekuasaan, akan tetapi jumlahnya amat sedikit.” (lihat halaman: 163).
Orang-orang itu kata Dr Tiar adalah para artis, kiai dan selebritis. Mungkin mereka masuk ke dalam kekuasaan, tapi kurang memiliki kecakapan dalam mengelola kekuasaan karena memang latar belakangnya bukan politisi.
“Alhasil, keberadaannya dalam lingkaran kekuasaan tidak memberi efek besar,” tegas Dr Tiar.
Wakil Ketum Parpol
Semakin tidak terbantahkan apa yang Dr Tiar tulis ketika memperhatikan ungkapan Ketua Komisi III DPR RI belakangan kala rapat dengan pendapat umum dengan Menkopolhukam, Mahfud MD.
Bahwa dalam hal menetapkan UU perampasan aset koruptor, lobinya harus kepada ketua umum partai politik. Tidak pada “korea-korea” yang ada di Komisi III.
Publik sebagian terkejut, mungkin karena kurang cermat. Namun bagi mereka yang memahami, hal itu memang sudah lama benderang terlihat, walau tanpa harus ada pengakuan dari seorang pun dari Anggota DPR RI.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, kita memang sangat rindu narasi dan “agitasi” dari politisi muslim, terutama dari partai politik Islam.
Tetapi kata rindu itu memang untuk menggambarkan kondisi seorang anak yang telah lama kehilangan kedua orangtuanya, rindu tinggallah rindu. Sang anak tak mungkin bisa bertemu lagi.
Pantas kalau kemudian publik langsung mengatakan bahwa Anggota DPR RI sepertinya bukan lagi wakil rakyat, tapi wakil dari kepentingan ketua umum partai politik.
Agenda Perubahan
Lalu, apakah mengerti masalah dan mengerti data yang bejibun cukup bagi kita untuk melakukan perubahan?
Baca Lagi: Muhasabah Politik Umat
Jawabannya adalah tidak. Kalau hari ini politisi muslim banyak yang terseret dilema antara idealisme dan pragmatisme, maka menjawab itu kita tidak bisa menyalahkan yang ada hari ini.
Seperti teknologi baru yang selalu penting kita hadirkan, maka begitulah dalam hal politik, umat Islam harus mampu melahirkan generasi berkarakter yang tak mudah tumbang karena rayuan uang dan jabatan.
Seperti Rasulullah SAW melahirkan para sahabat muda nan enerjik serta visioner, maka itulah yang umat Islam perlu lakukan. Kita boleh tidak puas dengan keadaan sekarang, tapi kita harus menanam untuk panen di masa mendatang. Nah, siapakah yang siap melakukan ini?*